Cerita 4 Mahasiswa Uin Yogya Hadapi Hakim Mk Di Sidang Threshold

Sedang Trending 3 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Yogyakarta, pendapatsaya.com --

Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta mengaku merasa pesimis saat pertama kali menggugat Pasal 222 UU Pemilu soal periode pemisah pencalonan presiden atau presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Awalnya, para mahasiswa ini merasa tak percaya gugatan mereka bakal dikabulkan hakim-hakim MK. 

"Untuk optimis alias tidak, jawab jujur tidak optimis," kata Enika Maya Oktavia, salah satu mahasiswa UIN Suka pemohon uji materi UU Pemilu, Jumat (3/1).

Enika dan ketiga rekannya sempat merasa rendah diri memandang hasil permohonan gugatan nan mereka susun. Keempatnya merasakan pengalaman nan sangat berbeda ketika menyusun draft permohonan original dan sewaktu melakoni praktek peradilan semu di kampus.

"Ketika kami baca permohonan kami, kok jelek, ya. Kemudian kami masuk ke sidang pendahuluan, nah itu semua dikuliti oleh nan Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi," katanya.

"Lalu kami merasa, wah ini chance untuk ke persidangan pokok permohonan saja sepertinya sangat kecil," sambung mahasiswi prodi Hukum Tata Negara UIN Suka semester 7 itu.

Bahkan, ketika Enika dan ketiga rekannya berbincang dengan para personil Komunitas Pemerhati Konstitusi --organisasi resmi mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga-- lebih banyak nan memprediksi permohonan tersebut bakal ditolak.

"Jadi, kami pribadi tidak ada chance lantaran ini bakal mengubah peta perpolitikan di Indonesia itu sendiri," ucapnya.

"Tapi hamdallah, alhamdulillah kemudian lanjut," imbuh Enika.

Faisal Nasirul Haq, mahasiswa UIN Suka lain penggugat presidential threshold juga merasakan perihal nan sama.

Tapi, dia percaya langkahnya maju ke MK pasti bakal menghadirkan sisi positif meskipun gugatannya kandas.

"Mungkin bisa berfaedah bagi pemohon-pemohon berikutnya andaikan kami gugur di perkara ini," katanya.

Meski diliputi rasa pesimis, Enika dan rekan-rekan teguh berpikiran bahwa legal standing alias kedudukan norma mereka mengusulkan permohonan ke MK tak bakal dipermasalahkan.

Enika bilang, sejak uji materi pertama hingga ke-32, MK tidak pernah mengabulkan permohonan pemohon untuk menghapus nomor presidential threshold.

Menurutnya, MK berpandangan, lantaran subjek norma nan mempunyai kewenangan konstitusional untuk mengusulkan peserta Pilpres adalah parpol, maka parpol pula nan mempunyai legal standing untuk menguji konstitusionalitas periode pemisah pencalonan.

Dalam argumennya, Enika dan rekan-rekan menyatakan masyarakat alias pemilih seringkali dianggap bukan selaku subjek, melainkan objek dalam penyelenggaraan demokrasi.

Argumen itu merujuk pada kebenaran setiap legal standing dari para penggugat sebelumnya mengenai pemilu, banyak nan digugurkan MK. Namun mereka sukses melampaui argumen bahwa pemilih adalah objek. 

"Kami menekankan bahwa pemilih itu bukan objek demokrasi, melainkan subjek kerakyatan nan semestinya pendapatnya didengarkan. 32 putusan sebelum perkara kami itu sudah membuktikan bahwa masyarakat enggan adanya presidential threshold," jelas Enika.

"Maka, semestinya DPR selaku perwakilan kita di parlemen itu memahami betul kemauan masyarakat. Bukan kemudian mengabaikan aspirasi. 32 putusan itu bukan nomor nan kecil. Sekali lagi untuk legal standingnya kami tekankan bahwa pemilih itu bukanlah objek demokrasi, melainkan subjek demokrasi. Sehingga, ketika kita melakukan judicial review di MK, legal standing kita semestinya tidak dipertanyakan," pungkasnya.

Keputusan MK nan dibacakan dalam sidang putusan, Kamis (2/1), mengabulkan gugatan nan dilayangkan empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ialah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai proses kandidasi calon di pilpres selama ini terlalu didominasi partai politik tertentu dan akibatnya, membatasi kewenangan konstitusional pemilih mendapatkan pengganti calon pemimpin mereka.

Mahkamah juga menilai penerapan periode pemisah pencalonan presiden justru membikin kecenderungan pilpres hanya diikuti dua pasangan calon. Padahal, pengalaman sejak pemilihan langsung menunjukkan, dua pasangan calon membikin masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi.

(kum/wis)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya