ARTICLE AD BOX
pendapatsaya.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus syarat periode pemisah pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen nan diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Terkait perihal itu, Ketua Fraksi Gerindra DPR RI, Budisatrio Djiwandono mengatakan, pihaknya menghormati dan siap mematuhi putusan MK. Dia menuturkan, fraksinya bakal menjadikan keputusan tersebut sebagai acuandalam pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu.
"Kami menghormati dan siap mematuhi keputusan MK. Segera setelah ini kami bakal mempelajari lebih perincian putusan tersebut sebelum kami jadikan referensi dalam pembahasan revisi UU Pemilu," kata Budisatrio dalam keterangannya, Jumat (3/1/2024).
Dia pun menuturkan, pada dasarnya Gerindra berpegang teguh padaprinsip-prinsip demokrasi. Maka dari itu pihaknya mau memastikan agar fraksinya menjunjung putusan MK sebagai bagian dari petunjuk demokrasi.
"Kami sadar sepenuhnya bahwa keputusan MK berkarakter mengikat, dan putusan ini adalahbagian dari pilar kerakyatan nan kudu kita jaga," ungkap Budisatrio.
Meski demikian, semuanya kudu melalui tahapan pembahasan. Karena itu, dia memastikan Fraksi Gerindra bakal terus mengawal proses tersebut.
"Masih ada sejumlah tahapan nan kudu dilewati sebelum putusan ini diresmikan sebagai produk revisi UU. Maka dari itu, Fraksi Gerindra bakal terus mengawal prosesnya, agar penerapan putusan bisa melangkah efektif danselaras dengan petunjuk dalam putusan MK," pungkasnya.
Putusan MK
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi mengenai periode pemisah pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk seluruhnya.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
MK berpendapat, jelas Suhartoyo, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut MK, kata dia, Pasal 222 nan mengatur mengenai persyaratan periode pemisah pencalonan capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol dengan minimal 20 persen bangku DPR alias memperoleh 25 persen bunyi sah nasional pada pemilu sebelumnya, tidak mempunyai kekuatan norma mengikat.
"Tidak mempunyai kekuatan norma mengikat," tegas Suhartoyo.
Sebagai informasi, putusan tersebut dibacakan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Diketahui, uji materi itu akhirnya dikabulkan MK setelah diuji sebanyak 27 kali dengan lima amar putusan ditolak dan sisanya tidak dapat diterima.
Terbatasnya Hak Konstitusional
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden nan selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Hal ini berakibat pada terbatasnya kewenangan konstitusional pemilih mendapatkan pengganti nan memadai mengenai pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, Mahkamah juga menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan periode pemisah minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon.
Padahal, lanjut Mahkamah, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat nan terbelah) nan sekiranya tidak diantisipasi menakut-nakuti kebhinekaan Indonesia.