Mk Ungkap Alasan Hapus Syarat Ambang Batas Pencalonan Presiden

Sedang Trending 2 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

pendapatsaya.com, Jakarta - Hakim Konstitusi Saldi Isra menyampaikan argumen mengenai putusan permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, mengenai ambang pemisah pencalonan presiden alias presidential threshold nan berada pada pasal 222 nan dihapus.

Sebelumnya, jika mau mencalonkan presiden dan wakil presiden maka partai alias campuran partai kudu memenuhi syarat bangku parlemen minimal 20 persen alias mempunyai bunyi sah nasional 25 persen.

Menurut Saldi, jika terus mempertahankan ketentuan periode pemisah minimal pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold), berasas pengalaman maka bakal hanya muncul dua pasangan calon dan memudahkan polarisasi di masyarakat.

"Setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 pasangan calon. Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung menunjukan, dengan hanya 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi masyarakat nan terbelah nan sekiranya tidak diantisipasi bakal menakut-nakuti keutuhan kebhinekaan Indonesia," kata Saldi saat sidang putusan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

"Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden bakal terjebak dengan calon tunggal," imbuh Saldi.

Saldi menambahkan, kecenderungan demikian dapat dilhat dalam kejadian pemilihan kepala wilayah nan dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal alias pemilihan dengan kotak kosong.

Pilihan Capres Terbatas

Artinya, dengan membiarkan alias mempertahankan periode pemisah minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017 maka berpotensi terhalangnya penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

"Jika perihal itu terjadi, makna asasi dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bakal lenyap alias setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan nan hendak dicapai dari perubahan konstitusi, ialah menyempurnakan patokan dasar mengenai agunan penyelenggaraan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi," jelas Saldi.

Selain itu, Saldi juga membawa kebenaran di beberapa Pemilu sebelumnya ketika terdapat kekuasaan partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berakibat pada terbatasnya kewenangan konstitusional pemilih mendapatkan pengganti nan memadai terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden.

"Karena itu, setelah mencermati secara saksama dinamika dan kebutuhan penyelenggaraan negara, saat ini merupakan waktu nan tepat bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian sebelumnya,” Saldi.

Tetap Dicalonkan Partai Politik

Walau periode pemisah pencalonan ditiadakan, Saldi Isra memastikan langkah mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tetap kudu menggunakan partai politik. Sebab, patokan nan mengatur soal persyaratan tidak bertentangan dengan syarat-syarat nan sudah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945. Dalam perihal ini, ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

"Secara expressis verbis menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik alias campuran partai politik sebelum penyelenggaraan pemilian umum. Artinya, sepanjang partai politik sudah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum pada periode nan berkepentingan alias saat penyelenggaraan pemilu berlangsung, partai politik dimaksud mempunyai kewenangan konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden," Saldi menandaskan.

MK Hapus Syarat Ambang Batas 20 Persen untuk Pencalonan Presiden

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi mengenai periode pemisah pencalonan presiden alias presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk seluruhnya.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

MK berpendapat, jelas Suhartoyo, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Menurut MK, kata dia, Pasal 222 nan mengatur mengenai persyaratan periode pemisah pencalonan capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol dengan minimal 20 persen bangku DPR alias memperoleh 25 persen bunyi sah nasional pada pemilu sebelumnya, tidak mempunyai kekuatan norma mengikat.

"Tidak mempunyai kekuatan norma mengikat," tegas Suhartoyo.

Sebagai informasi, putusan tersebut dibacakan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Diketahui, uji materi itu akhirnya dikabulkan MK setelah diuji sebanyak 27 kali dengan lima amar putusan ditolak dan sisanya tidak dapat diterima.

Sebelumnya, Pegiat Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini menyampaikan permohonan mengenai pengetesan periode pemisah pencalonan presiden (Pasal 222 UU 7/2017) Perkara No.101/PUU-XXII/2024 merupakan perjuangan panjang setelah dua permohonan sebelumnya ditolak MK.

Dia berambisi semoga putusan atas permohonan kali ini menjadi sejarah baik bakal tercipta di awal tahun 2025.

Selengkapnya