Sekjen Golkar Mengaku Kaget Mk Hapus ambang Batas Presiden

Sedang Trending 2 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

pendapatsaya.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi mengenai periode pemisah pencalonan presiden alias presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk seluruhnya.

Terkait perihal itu, Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Sarmuji mengaku kaget dengan keputusan MK tersebut. Pasalnya, itu sudah ditolak beberapa kali.

"Keputusan MK sangat mengejutkan, mengingat putusan MK terhadap 27 sebelumnya selalu menolak," kata Sarmuji kepada wartawan, Kamis (2/1/2024).

Menurut dia, selama ini catatan pandang MK dan kreator Undang-Undang selalu sama mengenai tujuan penerapan treshold. Sehingga, dia heran sekarang periode pemisah menjadi dihapus.

"Dalam 27 kali putusannya langkah pandang MK dan kreator UU selalu sama ialah maksud diterapkannya presidensial treshold itu untuk mendukung sistem presidensial bisa melangkah secara efektif," ucapnya.

"Sementara itu dulu. Kalau sudah lenyap rasa kagetnya kelak saya respon lagi," tutup Sarmuji.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi mengenai periode pemisah pencalonan presiden alias presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk seluruhnya.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

MK berpendapat, jelas Suhartoyo, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Aturan Sebelumnya Sudah Tak Berlaku

Menurut MK, kata dia, Pasal 222 nan mengatur mengenai persyaratan periode pemisah pencalonan capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol dengan minimal 20 persen bangku DPR alias memperoleh 25 persen bunyi sah nasional pada pemilu sebelumnya, tidak mempunyai kekuatan norma mengikat.

"Tidak mempunyai kekuatan norma mengikat," tegas Suhartoyo.

Sebagai informasi, putusan tersebut dibacakan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Diketahui, uji materi itu akhirnya dikabulkan MK setelah diuji sebanyak 27 kali dengan lima amar putusan ditolak dan sisanya tidak dapat diterima.

Sebelumnya, Pegiat Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini menyampaikan permohonan mengenai pengetesan periode pemisah pencalonan presiden (Pasal 222 UU 7/2017) Perkara No.101/PUU-XXII/2024 merupakan perjuangan panjang setelah dua permohonan sebelumnya ditolak MK.

Dia berambisi semoga putusan atas permohonan kali ini menjadi sejarah baik bakal tercipta di awal tahun 2025.

Terbatasnya Hak Konstitusional

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden nan selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Hal ini berakibat pada terbatasnya kewenangan konstitusional pemilih mendapatkan pengganti nan memadai mengenai pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu, Mahkamah juga menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan periode pemisah minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon.

Padahal, lanjut Mahkamah, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat nan terbelah) nan sekiranya tidak diantisipasi menakut-nakuti kebhinekaan Indonesia.

Reporter: Genantan Saputra/Merdeka.com

Selengkapnya