ARTICLE AD BOX
pendapatsaya.com, Jakarta - Sebanyak 64 pelajar sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK), serta mahasiswa mengikuti program training bagi generasi muda nan diselenggarakan Yayasan Partisipasi Muda (YPM) ialah “Academia Politica”. Program kali ini mengangkat tema “Dampak Perubahan Iklim Ambon: Nelayan Sulit Dapat Ikan, Kita Sulit Dapat Makan”.
Dalam pemaparan training tersebut, Co-Founder dan Executive Director YPM, Neildeva Despendya Putri menyampaikan pihaknya adalah organisasi nan berfokus pada pemberdayaan anak muda untuk menjadi pemasok perubahan, khususnya dalam rumor perubahan iklim.
"Harapannya agar para partisipan nan datang dapat tumbuh menjadi pemimpin di Ambon apalagi di tingkat Maluku dalam menghadapi tantangan krisis iklim," kata Neildeva seperti dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (4/7/2025).
Namun sebelum mencapai itu, Neildeva mengatakan, krusial bagi semua pihak untuk betul-betul memahami rumor lingkungan. Tanpa pemahaman nan kuat, upaya menjaga Ambon dan Maluku dari kerusakan lingkungan bakal susah terwujud.
"Keterkaitan antara perubahan suasana dan politik membuka dengan pertanyaan reflektif: “Kenapa anak muda kudu melek politik?” Jawabannya: lantaran setiap keputusan politik berakibat langsung pada kehidupan sehari-hari," tegas dia.
Neildeva mencontohkan, kualitas udara jelek dan penggunaan daya kotor seperti PLTU batubara membikin masyarakat kesulitan bernapas. Di sisi lain, proyek tambang nan didorong pemerintah menyebabkan laut tercemar, sehingga nelayan kesulitan mencari ikan.
“Selama duit tetap jadi tujuan utama, keputusan-keputusan soal lingkungan bakal terus menyakiti bumi," wanti dia.
Sementara itu, Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Pattimura, Dr. Mike J. Rolobessy, M.T, memaparkan kondisi perubahan suasana di Maluku. Dia menjelaskan, akibat paling nyata dari perubahan suasana di Maluku terlihat pada kerusakan terumbu karang.
"Ativitas manusia seperti pengeboman ikan, pembuangan limbah, penggunaan jangkar kapal secara sembarangan, serta “bameti” (pengambilan biota laut saat air surut) turut memperparah kerusakan tersebut," papar Mike.
"Akibatnya kediaman ikan rusak, alga dan tumbuhan laut terganggu, dan ekosistem laut menjadi tidak stabil. Jika kerusakan ini terus berlanjut, banyak jenis laut bakal terancam punah. Selain itu, pola migrasi ikan bisa berubah, sehingga nelayan pun kesulitan mencari ikan lantaran kediaman alami ikan menghilang," imbuh dia.
Kemudian, Selfrida M. Horhoruw selaku perwakilan Bidang Pengelolaan Ruang Laut, Dinas Kehutanan dan Perikanan Provinsi Maluku menjelaskan, kondisi eksisting wilayah Maluku, khususnya terkait posisi strategis Maluku dalam ekosistem laut global.
"Provinsi Maluku terletak di kawasan Coral Triangle alias Segitiga Terumbu Karang—wilayah ekosistem laut nan mempunyai keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Coral Triangle mencakup area seluas 6 juta km² nan membentang di enam negara: Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Sebanyak 76% jenis terumbu karang dunia—yaitu 605 dari 798 spesies—ditemukan di area ini," papar dia.
Namun Selfrida mewanti, ekosistem ini terancam oleh beragam aktivitas manusia seperti penangkapan ikan berlebihan (overfishing), pengeboman ikan, penggunaan daya kotor seperti PLTU batubara dan esploitasi dan pengambilan terumbu karang.
"Semua ini mempercepat perubahan suasana dan pemanasan global, meningkatkan suhu serta keasaman air laut, nan memicu kejadian coral bleaching (pemutihan karang). Coral bleaching berakibat langsung pada kerusakan terumbu karang dan terganggunya ekosistem laut di sekitarnya," wanti dia.