Kebijakan Demul Tempatkan 50 Siswa Di Satu Kelas Perlu Dievaluasi

Sedang Trending 2 hari yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, pendapatsaya.com --

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali menuai kritik gara-gara kebijakan menempatkan 50 siswa dalam satu satuan pendidikan menengah.

Sebelumnya rombongan belajar hanya diisi 36 siswa per kelas.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur Jabar Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah ke Jenjang Pendidikan Menengah di Provinvisi Jawa Barat.

"Calon siswa ditempatkan kepada satuan pendidikan sebanyak- banyaknya 50 siswa disesuaikan dengan hasil kajian info luas ruang kelas nan bakal digunakan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan," dikutip dari Keputusan nan ditandatangani Demul.

Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Purwanto mengatakan tujuan dari kebijakan itu untuk menjamin semua anak mendapat kewenangan pendidikan.

Ia menyebut kebijakan itu didasari oleh kemauan untuk menyelamatkan anak-anak dari golongan rentan nan berisiko putus sekolah akibat keterbatasan ekonomi, bencana, alias persoalan manajemen kependudukan.

Purwanto juga menjelaskan kebijakan penambahan rombel tidak berkarakter menyeluruh, melainkan selektif sesuai kebutuhan wilayah.

"Di sekolah-sekolah nan padat penduduknya, kemudian dekat dengan alamat orang miskin. Karena kan ada info KETM ya, Keluarga Ekonomi Tidak Mampu nan sudah ada sekitar 61 ribu masyarakat kita terindikasi masuk ke info itu," kata Purwanto beberapa waktu lalu.

Pengamat Pendidikan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah beranggapan kebijakan itu bakal terbentur kondisi kapabilitas kelas nan tidak didesain menampung 50 siswa.

Jika dipaksakan, menurut dia, pembelajaran bakal menjadi tidak efektif.

"Kebijakan ini juga perlahan mematikan sekolah swasta," kata Jejen saat dihubungi, Kamis (10/7).

Daripada menambah jumlah siswa dalam satu rombongan belajar, dia menyarankan Pemprov Jabar memperbesar kuota domisili dan afirmasi siswa miskin dalam sistem penerimaan siswa baru.

"Mengapa tidak memperbesar kuota domisili dan afirmasi siswa miskin, lantaran siswa bisa bisa sekolah di swasta," ujar dia.

Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri memahami iktikad baik Dedi Mulyadi dalam upaya mengurangi anak putus sekolah di Jabar.

Namun, kata dia, niat baik tersebut justru bakal berakibat negatif serta kontraproduktif bagi pembimbing dan siswa, baik dari aspek pedagogis, psikologis, maupun sosial.

Menurut dia, penempatan 50 siswa dalam satu kelas bakal berpotensi mengganggu proses dan kualitas pembelajaran di kelas.

Ia mengatakan beberapa akibat nan bakal dihadapi dari kebijakan itu, di antaranya kelas jadi pengap, bunyi pembimbing tidak terdengar, kelas tidak kondusif, ruang mobilitas anak dan pembimbing tidak ada, hingga pembimbing nan bakal kesulitan mengkontrol kelas.

"Kelas bakal terasa sumpek, seperti penjara, mengingat luas ruang kelas SMA/SMK itu hanya muat maksimal 36 siswa saja," kata Iman.

Ia juga beranggapan keputusan Dedi Mulyadi tersebut bertentangan dengan Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 tentang Standar Pengelolaan dan Keputusan Kepala BSKAP Nomor 071/H/M/2024 tentang Juknis Pembentukan Rombongan belajar nan menetapkan siswa SMA/MA/SMK/MAK maksimal 36 murid.

Selain itu, dia beranggapan kebijakan itu tidak bakal menyelesaikan masalah anak putus sekolah.

"Anak putus sekolah di Jawa Barat memang mengkhawatirkan, ada sekitar 658 ribu. Kami menilai, memasukkan 50 siswa SMA ke satu kelas justru solusi instan jangka pendek," kata Iman.

Ia mengatakan kebijakan pencegahan anak putus sekolah kudu berpendirian kesesuaian wewenang, ketersediaan, keterjangkauan, kesinambungan, keterukuran dan ketepatan sasaran.

"Misal, memandang kondisi sekolah, kesiapan guru, sarana prasarana, dan luas ruang kelas," kata Iman.

Ia juga menyoroti selama beberapa bulan menjabat, banyak kebijakan Dedi Mulyadi nan tidak bersinergi dengan Kemdikdasmen, seperti mengirim anak bandel ke barak tentara.

Sekarang ditambah dengan menampung 50 siswa dalam satu kelas di SMA/SMK nan dinilai melanggar aturan.

Iman pun meminta Dedi untuk mengharmonisasikan kebijakannya dengan kebijakan pendidikan Pemerintah pusat.

Kordinator Nasional P2G Satriwan Salim mengatakan kondisi kelas dan sekolah nan melampaui kapabilitas bakal mengganggu kesehatan mental anak dan guru.

Ia juga cemas siswa tambahan nan masuk belum jelas statusnya sebagai siswa dalam sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik) lantaran masuk di luar kuota SPMB/PPDB.

"P2G cemas murid-murid ini tidak bakal dapat ijazah. Bisa dianggap sebagai siswa terlarangan di kelas dan tentu merugikan hak-hak dasar anak dalam mendapatkan pendidikan," kata Satriwan.

Potensi mematikan sekolah swasta

Menurutnya, sekolah SMA/SMK swasta berpotensi kekurangan siswa apalagi bisa bercempera jika kebijakan itu diterapkan Dedi karena siswa bakal bertumpuk terkonsentrasi di sekolah negeri.

"P2G cemas pengaruh domino bagi sekolah swasta, lama kelamaan mereka bubar, dan para gurunya bakal lenyap pekerjaan," kata Satriawan.

Ia mengatakan P2G menerima laporan dari SMA/SMK swasta di Jawa Barat nan mulai merasakan sepinya siswa fans sekolah mereka. Calon siswa berkurang signifikan dari tahun-tahun sebelumnya.

Satriwan mencontohkan SMA Bhakti Putra Indonesia di Cisewu Garut Selatan nan hanya menerima 13 calon siswa pendaftar. Lalu SMA Pasundan di Kota Tasikmalaya hanya menerima 4 calon murid.

"Sebenarnya kebenaran bahwa SMA/SMK swasta di Jabar sunyi fans sudah terjadi 5 tahun terakhir, tetapi malah diperparah oleh kebijakan Gubernur Jabar ini," ujarnya.

Satriwan menilai kebijakan memasukkan anak ke kelas melampaui kapabilitas normal merupakan upaya mengatasi putus sekolah nan hanya konsentrasi pada penurunan angkanya saja, namun tidak dipikirkan akibat jangka panjangnya.

"Jangan sampai kebijakan Gubernur Jabar KDM ini 'membunuh' pelan-pelan sekolah swasta, nan selama ini sudah berjuang berbareng untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," katanya.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani beranggapan Permendikbud No. 47 Tahun 2023 dan penjelasan teknis dalam SK BSKAP No. 071 Tahun 2024, mengatur ketentuan maksimal 50 peserta didik per rombel di SMA dapat diberlakukan secara elastis melalui pengecualian dalam kondisi tertentu.

Menurutnya, pengecualian itu memungkinkan satuan pendidikan di wilayah-wilayah tertentu untuk menyesuaikan kapabilitas rombel tanpa mengorbankan kualitas layanan.

Namun, tetap wajib memastikan kesiapan prasarana pendukung, misalnya ruang kelas tambahan, dan proporsi pembimbing dan sarana prasarana nan memadai

"Artinya, kebijakan mengenai rombel, sudah diatur, dan kebijakan ini saya kira sudah mencerminkan pendekatan kontekstual dalam sistem pendidikan nasional, terutama untuk menjawab ketimpangan akses di wilayah spesifik," kata Lalu.

Namun demikian, Lalu mengatakan kebijakan penambahan rombel dari 36 menjadi 50 siswa perlu dievaluasi mendalam.

Evaluasi mempertimbangkan kesiapan sarana prasarana, seperti luas ruang kelas sesuai Permendikbudristek dan akibat terhadap sekolah swasta, termasuk akibat penurunan mutu pendidikan.

"Kami mendorong transparansi kebijakan dan koordinasi antara pemerintah pusat-daerah untuk memastikan pemerataan akses tanpa mengorbankan kualitas pembelajaran," ujarnya.

(yoa/gil)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya