ARTICLE AD BOX
pendapatsaya.com, Jakarta - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof Romli Atmasasmita merespons pernyataan Mahfud Md soal mengampuni koruptor sama saja melanggar Pasal 55 KUHP. Diketahui perihal itu disampaikan saat menanggapi pernyataan Presiden Prabow Subianto.
“Kesalahan dia (Mahfud MD) satu-satunya adalah tidak mau bertanya pada mahir sebelum menuduh presiden turut serta melakukan tipikor juncto Pasal 55 KUHP. Bahkan pernyataan Mahfud bisa kena Pasal 45 UU ITE,” kata Prof Romli seperti dikutip Rabu (1/1/2025).
Prof Romli menjelaskan, tuduhan Pasal 55 KUHP tentang Deelneming alias Penyertaan nan disampaikan Mahfud dalam tindak pidana kudu memenuhi dua syarat.
“Pertama, ada kesadaran untuk sama-sama mempersiapkan tindak pidana korupsi. Kedua, secara sadar melakukan bersama-bersama. Kedua syarat tersebut tidak ada pada Prabowo selaku Presiden RI,” jelas Prof Prof Romli.
Prof Romli mencatat, pasal nan bisa disangkakan ialah Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP 1946 tentang Fitnah dan Pasal 433 UU KUHP 1/2023 tentang Pencemaran Nama Baik dengan ancaman pidana penjara 6 tahun dan denda Rp750 juta.
Selain pasal di dalam KUHP, Mahfud juga bisa dijerat Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 tentang pencemaran nama baik dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta.
Penjelasan Mahfud
Merespons itu, Mahfud juga menganggap Prof. Romli salah lantaran tidak bertanya dulu kepada saya tentang apa nan saya katakan alias tidak mendengar sendiri apa nan saya katakan di Podcast Terus Terang Episode 34 pada 24 Desember 2024.
Mahfud menjelaskan, persoalan diawali oleh Presiden Prabowo nan mengatakan bakal memberi kesempatan kepada koruptor untuk dimaafkan secara diam-diam, nan telah melakukan korupsi dan bersedia mengembalikan hasil korupsinya. Hal itu disampaikan Prabowo saat berpidato di hadapan mahasiswa di Al Azhar Conference Center, Universitas Al Azhar, Kairo, Rabu, 18 Desember 2024 lalu.
“Saya bilang, pemberian maaf kepada koruptor tak bisa dilakukan. Kalau itu dilakukan, maka bertentangan dengan hukum. Tak boleh ada pemberian maaf secara diam-diam kepada koruptor,” kata Mahfud seperti dikutip dari IG pribadinya, Rabu (1/1/2025).
Setelah itu, Mahfud menambahkan ada juga pernyataan Menko Kumham Impas, Yusril Ihza Mahendra nan menyebut Presiden bisa memberi amnesti. Lalu, ada Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas nan menyebut soal sistem denda tenteram di UU Kejaksaan.
“Saya tetap bilang, tetap tak boleh mengampuni koruptor secara diam-diam. Saya tahu betul bahwa Presiden bisa memberi amnesti, tapi tak bisa dilakukan secara diam-diam,” tegas dia.
Mahfud menerangkan, pemberian amnesti kudu dibicarakan dengan DPR. Semua amnesti dilakukan terbuka, tak ada nan diberikan diam-diam. Termasuk amnesti Pajak nan juga kudu disepakati DPR melalui perdebatan nan terbuka dan panas hingga dibuat dulu UU Tax Amnesty.
“Jadi, soalnya terletak pada memberi maaf dan mengembalikan duit korupsi secara diam-diam,” terang dia.
Mahfud melanjutkan, Pemerintah sendiri sudah memberikan penjelasan jika denda tenteram nan dimaksud hanya bisa dilakukan dalam tindak-tindak pidana ekonomi, bukan tindak pidana korupsi. Antara lain sudah disampaikan Menteri Hukum maupun Kapuspenkum Kejaksaan Agung.
“Kalau pemerintah mengampuni koruptor secara diam-diam alias tanpa UU Pemaafan, bisa diartikan ikut melakukan korupsi. Sebab, itu berfaedah membuka jalan bebas nan memperkaya orang lain alias korporasi, secara melanggar norma dan merugikan finansial negara,” wanti dia.
“Itu tafsir 'jika' perihal itu dilakukan, dimana unsur tuduhan dan pencemaran nama baik atas pendapat tersebut? Saya bilang 'jika' itu dilakukan oleh Presiden, nyatanya tidak dilakukan. Jadi, tidak ada buletin bohong dan tuduhan di sini,” sambung Mahfud menutup.