Angin Segar Putusan Mk Pisahkan Pemilu Nasional Dan Lokal

Sedang Trending 8 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, pendapatsaya.com --

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan wilayah dipisahkan dengan jarak waktu paling singkat dua tahun alias paling lama dua tahun dan enam bulan.

Pemilu nasional antara lain pemilihan personil DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu wilayah terdiri atas pemilihan personil DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan kota serta kepala dan wakil kepala daerah

MK dalam satu pertimbangan hukumnya menyatakan penyelenggaraan nan berdekatan antara pemilu nasional dan daerah/lokal menjadikan partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat sidang pengucapan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6) mengatakan kecenderungan itu terjadi lantaran parpol tidak mempunyai cukup waktu untuk menyiapkan kadernya berkompetensi pada setiap jenjang pemilu.

Putusan itu menuai respons beragam, salah satunya dari NasDem. Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat mendesak DPR agar meminta penjelasan lebih lanjut dari MK soal putusan itu.

Wakil Ketua MPR itu mengatakan putusan MK tersebut telah melanggar UUD 1945 lantaran bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) UUD 1945 nan menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali.

Kondisi itu, kata dia, berpotensi menimbulkan krisis apalagi deadlock constitutional lantaran dapat melanggar konstitusi. Karenanya dia menilai Putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat.

"MK telah menjadi negative legislator sendiri nan bukan kewenangannya dalam sistem norma nan demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi norma dan konstitusi," kata dia.

Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati menilai putusan MK itu menandai tonggak krusial perbaikan kreasi kelembagaan kerakyatan di Indonesia, khususnya dalam menyusun sistem pemilu nan lebih efektif, efisien, dan berkeadilan.

Menurutnya, pemilu serentak seperti nan terjadi pada 2019 dan 2024 telah menciptakan beban administratif dan teknis nan sangat besar bagi penyelenggara pemilu.

Tidak hanya itu, dia beranggapan model pemilu serentak juga menyulitkan pemilih untuk membikin pilihan nan logis lantaran kudu memilih lima jenis kedudukan dalam satu hari dengan jumlah calon nan sangat banyak.

"Di sisi lain, partai politik juga kesulitan mempersiapkan calon legislatif dan pelaksana di beragam tingkatan secara bersamaan, sehingga proses rekrutmen condong berkarakter instan dan didasarkan pada ketenaran semata," kata Neni saat dihubungi, Selasa (1/7).

Lebih lanjut, dia mengatakan agenda Pemilu 2024 nan memisahkan pemilu legislatif, pilpres pada Februari dan pilkada pada November tanpa ada pengaturan norma nan sesuai, telah memperlihatkan tumpang tindih tahapan, kelelahan publik, serta potensi kejenuhan demokrasi.

Penumpukan tahapan pemilu dan pilkada itu dinilai bukan hanya melelahkan bagi penyelenggara, tetapi juga mengganggu konsentrasi partai politik dan pemilih dalam menilai kualitas para calon.

"Dalam konteks ini, putusan MK menjadi angin segar nan membuka ruang untuk merancang ulang sistem kepemiluan nasional secara lebih sistematis, rasional, dan partisipatif," ujar Neni.

Terpisah, Direktur Eksekutif Trias Politika Agung Baskoro mengapresiasi putusan MK nan dinilai progresif. Agung mengatakan putusan itu punya akibat positif bagi pemilih, penyelenggara pemilu dan peserta pemilu.

"Bagi pemilih itu membikin mereka menjadi konsentrasi memilih. Jadi ada jarak antara pemilu nasional dengan pemilu lokal, sehingga konsentrasi mereka ketika pileg itu jelas siapa personil majelis nan mereka pilih. Tidak bakal berbaur dengan pileg di daerah," kata Agung.

Bagi penyelenggara pemilu, gelaran pemilu nan dipisah dinilai bakal mengurangi beban teknis dan taktis di lapangan.

Ia menyinggung banyak kasus KPPS nan kelelahan hingga meninggal bumi di pemilu serentak sebelumnya.

"Beban kerja mereka menjadi lebih manusiawi dan humanis, jadi KPU bisa lebih konsentrasi untuk mengarahkan kerja-kerja nan lebih berbobot ke depannya untuk mengusung pemilu kita agar lebih baik," kata Agung.

Agung juga beranggapan putusan itu menguntungkan peserta pemilu alias partai politik lantaran bakal ada waktu nan cukup bagi partai untuk memilih kader berbobot untuk dicalonkan di tiap tingkatan.

"Saya bingung jika mereka tidak mengapresiasi, lantaran mereka nan diuntungkan," ujar Agung.

Berlanjut ke laman berikutnya...


Selengkapnya