ARTICLE AD BOX
Jakarta, pendapatsaya.com - Harga minyak bumi tertekan pada awal perdagangan Selasa (1/7/2025), di tengah kekhawatiran pasar terhadap potensi kenaikan produksi OPEC+ serta ancaman tarif baru dari Amerika Serikat nan bisa memicu perlambatan ekonomi global.
Melansir dari Refinitv, nilai minyak Brent perjanjian September turun 0,24% ke US$66,58 per barel, sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) terkoreksi 0,31% ke US$64,91 per barel. Pelemahan ini terjadi setelah berita bahwa aliansi produsen OPEC+ bakal kembali meningkatkan produksi pada Agustus mendatang.
Mengutip Reuters, sumber internal menyebut OPEC+ tengah bersiap meningkatkan pasokan sebanyak 411.000 barel per hari (bph). Jika disahkan dalam pertemuan resmi pada 6 Juli, maka ini bakal menjadi kenaikan bulanan keempat berturut-turut dan menambah total pasokan baru sepanjang 2025 menjadi 1,78 juta bph, setara dengan lebih dari 1,5% dari permintaan global.
Selain pasokan nan berpotensi membanjir, pelaku pasar juga mencermati tenggat waktu 9 Juli, di mana AS dijadwalkan mengaktifkan tarif baru atas beragam peralatan impor. Menteri Keuangan AS Scott Bessent memperingatkan bahwa tarif bisa naik hingga 50%, apalagi jika negosiasi jual beli tetap berlangsung. Ketidakpastian ini menambah tekanan terhadap proyeksi permintaan daya dunia.
Di sisi proyeksi harga, Morgan Stanley memangkas perkiraan nilai Brent ke kisaran US$60 per barel pada awal 2026, seiring prediksi surplus pasokan mencapai 1,3 juta bph tahun depan dan meredanya akibat geopolitik global.
Padahal, ketegangan geopolitik sempat mendorong nilai melonjak tajam bulan lalu. Brent sempat menembus US$80 per barel saat bentrok antara Israel dan Iran memanas pasca serangan udara terhadap akomodasi nuklir Iran. Namun pasar kembali tenang usai mantan Presiden AS Donald Trump memediasi gencatan senjata 12 hari kemudian.
Meski tensi politik mereda, analis memperingatkan volatilitas pasar tetap tinggi dalam waktu dekat. "Harga tetap sensitif terhadap perubahan kebijakan dan dinamika pasokan. Fokus utama saat ini adalah keseimbangan jangka pendek antara sinyal kenaikan produksi dan potensi penurunan permintaan global," ujar analis daya dari JP Energy Research pada Business Today.
CNBC Indonesia
(emb/emb)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Rusia dan OPEC+ Bikin Harga Minyak Membara