ARTICLE AD BOX
pendapatsaya.com, Jakarta Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) dari Fraksi Golkar, Atalia Praratya, menyampaikan keprihatinan mendalam atas info nan dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Data tersebut menunjukkan bahwa dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2025, tercatat sebanyak 13.845 kasus kekerasan terhadap wanita dan anak.
"Angka ini adalah pengingat nan menyakitkan bahwa perjuangan kita untuk menciptakan lingkungan nan kondusif dan setara bagi wanita tetap jauh dari kata usai. Setiap nomor di dalamnya merepresentasikan kisah pilu, trauma, dan pelanggaran kewenangan asasi manusia nan tidak bisa kita abaikan," ujar Atalia Praratya dalam keterangan tertulis, Selasa (1/7/2025).
Atalia mengapresiasi kerja keras Kementerian PPPA dalam mendata dan merilis info ini, nan merupakan langkah krusial dalam memahami skala permasalahan. Namun, dia juga menekankan pentingnya respons nan lebih komprehensif dan terkoordinasi dari semua pihak.
"Data ini tidak hanya menunjukkan jumlah kasus, tetapi juga mengindikasikan adanya gunung es persoalan nan lebih besar. Banyaknya kasus kekerasan, sayangnya, tetap belum terungkap alias dilaporkan lantaran beragam faktor, mulai dari rasa takut, stigma sosial, hingga minimnya akses terhadap keadilan," kata Atalia.
Atalia Praratya menyoroti perlunya Penguatan Sistem Pelaporan dan Penjangkauan dalam penanganan kasus kekerasan perempuan dan anak. Pemerintah dan masyarakat perlu terus berupaya memperkuat sistem pelaporan nan mudah diakses, aman, dan responsif.
Legislator dari Dapil Jabar I menekankan pentingnya untuk memastikan bahwa para korban merasa kondusif untuk melapor dan mendapatkan pendampingan nan mereka butuhkan. Ini termasuk peningkatan kapabilitas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan jasa pengaduan lainnya di seluruh wilayah.
Program-program edukasi tentang consent, hak-hak perempuan, dan cara-cara melaporkan kekerasan kudu diintensifkan.
"Kekerasan adalah hasil dari pola pikir dan bangunan sosial nan salah. Oleh lantaran itu, edukasi dan pencegahan kudu dimulai sejak awal di lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Kita kudu mengajarkan kesetaraan gender, membangun budaya saling menghormati, dan menolak segala corak diskriminasi serta kekerasan," tegas Atalia.
Baca juga Pernikahan Dini Anak 15 dan 17 Tahun di NTB, Menteri PPPA: Ini Bentuk Kekerasan Seksual
Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, lagi-lagi jadi sorotan. Ia menyatakan bahwa kekerasan seksual dalam peristiwa Mei 1998 hanyalah rumor tanpa bukti. Sejumlah aktivis wanita dan HAM pun menuntutnya meminta maaf, pasalnya laporan TGPF kasus kerusuhan...
Sanksi Tegas Para Pelaku Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
Atalia berambisi agar pelaku kekerasan kudu ditindak tegas sesuai norma nan bertindak tanpa pandang bulu. Penegakan norma nan setara dan konsisten bakal memberikan pengaruh jera serta menjamin keadilan bagi para korban.
Penting pula untuk meningkatkan pemahaman dan sensitivitas abdi negara penegak norma terhadap rumor kekerasan berbasis gender.
"Kita tidak bisa melangkah sendiri. Tokoh agama, tokoh adat, organisasi masyarakat, mahasiswa dan organisasi punya peran vital dalam mengubah narasi dan mendukung korban. Mari kita bangun lingkungan nan suportif di mana korban berani bersuara dan mendapatkan support penuh dari sekitar," kata Atalia Praratya.
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi, menyatakan bahwa sepanjang Januari-Juni 2025 telah terjadi 13.845 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya kekerasan seksual.
Sejak Januari sampai 12 Juni 2025 terjadi kasus 11.850, hanya dalam waktu 16 hari, bertambah 11.850.
Menyikapi perihal tersebut, menurut Atalia, terjadinya kekerasan terhadap wanita seringkali berasosiasi dengan ketidakberdayaan ekonomi.
Oleh lantaran itu, program pemberdayaan ekonomi wanita juga menjadi kunci untuk meningkatkan kemandirian dan daya tawar mereka, sehingga lebih terlindungi dari potensi kekerasan.
Atalia menegaskan komitmen Fraksi Golkar di DPR RI untuk terus mengawal rumor ini, melalui kegunaan legislasi, anggaran, dan pengawasan.
"Kami bakal terus mendorong pemerintah untuk mengalokasikan anggaran nan memadai, memperkuat izin nan ada, dan memastikan penerapan kebijakan nan efektif demi tercapainya Indonesia nan bebas dari kekerasan terhadap perempuan," ujar Atalia.
Menteri PPPA: Kekerasan Seksual Jadi Jenis Kekerasan Tertinggi di Tanah Air
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengatakan bahwa kekerasan seksual menjadi jenis kekerasan nan paling banyak dilaporkan terjadi di Indonesia. Adapun rumah tangga menjadi tempat terjadinya kekerasan nan paling banyak dilaporkan.
"Kalau dilihat dari jenis kekerasannya maka kekerasan seksual nan menempati posisi paling tinggi dan jika dilihat dari tempat kejadian dari kekerasan ini nan paling tinggi ada di rumah tangga," kata Arifah usai menghadiri training paralegal nasional Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) di Kementerian Hukum, Jakarta, Sabtu (14/6) seperti dilansir Antara.
Hal tersebut, kata Arifah, sebagaimana info Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA) dari Januari hingga Juni 2024 mencatat ada 11.850 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak nan dilaporkan, dengan total korban mencapai 12.604 orang.
"Terbanyak adalah korbannya wanita 10.000 lebih. Dari jenis kekerasannya, nan terbanyak adalah kekerasan seksual dengan jumlah 5.246, sedangkan tempat kejadian nan paling tinggi adalah di ranah rumah tangga," kata saat memberikan pidato sambutan dalam acara.
Adapun, lanjut dia, berasas Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 menunjukkan 1 dari 4 wanita di Indonesia pernah mengalami kekerasan bentuk dan/atau seksual sepanjang hidupnya.
Sementara itu, kata Arifah, 9 dari 100 anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang hidupnya ialah
Bahkan, dia menyebut dari Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) nan tak dia sebutkan tahunnya, 1 dari 2 anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan emosional sepanjang hidupnya.
"Ini tidak sekedar nomor dalam statistik. Ada kisah, ada trauma, ada penderitaan dan juga akibat jelek bagi korban, ialah penderitaan fisik, psikologi, kesehatan, ekonomi, dan juga sosial," paparnya.
Kasus Inses Tinggi
Di samping itu, Arifah menyebut kasus inses oleh personil family di ranah domestik juga menjadi salah satu kasus kekerasan seksual nan sangat tinggi terjadi di Indonesia.
"Dan agak susah untuk melakukan penyelesaian lantaran ini hubungan nan sangat dekat dalam sebuah keluarga," katanya.
Oleh karena itu, Arifah menegaskan info tersebut menjadi bukti nyata bahwa kekerasan terhadap wanita dan anak merupakan rumor multidimensi nan memerlukan pendekatan komprehensif dari beragam pihak, mulai dari pencegahan, perlindungan, hingga pemulihan korban.
"Hal ini menegaskan urgensi untuk penerapan kebijakan, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan memastikan kesiapan serta aksesibilitas jasa perlindungan nan kudu ditingkatkan dan diperkuat baik oleh pemerintah maupun masyarakat," kata Arifah.
Pelatihan Para Legal
Arifah memandang kehadiran paralegal sebagaimana training nan diberikan kepada ribuan personil Muslimat NU pada aktivitas tersebut sangatlah krusial sebagai jembatan nan menghubungkan korban nan banyak di antaranya wanita dengan sistem norma dan keadilan.
"Selain menjadi pendamping norma dan mediator, para legal juga membantu korban untuk menjangkau akses bagi korban untuk memperoleh keadilan atas kasus nan dialaminya. Para legal bakal membantu korban dalam menyiapkan arsip norma dan keadilan norma lainnya nan diperlukan," kata dia.