ARTICLE AD BOX
Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan, sebagian besar penyebab tutup alias pencabutan izin upaya (CIU) BPR yang terjadi belakangan ini adalah lantaran adanya persoalan tata kelola nan tidak optimal alias fraud.
"Sebagai catatan saja, sebagian besar penyebab CIU pada BPR dan BPRS utamanya adalah penerapan tata kelola tidak optimal sehingga berujung pada fraud. Dalam menyikapi itu OJK melakukan tindaklanjut termasuk tindak norma pada pihak-pihak nan terlibat. Ini kalo disertai fraud tindak pidana nan diikuti penegakan hukum," ujar Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, dalam press conference RDK OJK, Selasa (7/1/2025).
Menjelang akhir tahun 2024, jumlah bank perekonomian rakyat (BPR) ambruk telah tembus 20. Jumlah BPR jatuh saat ini melampaui rata-rata jumlah bank jatuh setiap tahunnya menurut Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), ialah sebanyak 6 hingga 7 BPR jatuh.
Pada bulan Juli lalu, OJK memang sempat menyebut pada bulan Agustus, bahwa jumlah BPR nan ditutup nyaris mencapai 20, sepanjang tahun ini. Dian mengatakan bahwa banyaknya penutupan BPR itu menunjukkan tidak adanya goncangan sama sekali.
Modus Fraud Pengurus BPR
Direktur Eksekutif Hukum LPS Ary Zulfikar mengungkapkan ada tiga "celah" para pelaku fraud di BPR. nan pertama adalah pengawasan berjenjang nan tidak melangkah di BPR terkait, dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab.
Ary mengungkapkan tidak hanya pemegang saham saja nan melakukan fraud, tapi juga para dewan hingga pegawai.
"Jadi ada kewenangan nan dia [pegawai itu] miliki dan tidak ada pengawasan," kata Ary di LPS Morning Talks di Kantor LPS, Selasa (17/12/2024).
Dalam perihal ini, dia menyebut teknologi info (IT) menjadi krusial untuk mengelola tata kelola nan baik. Sebab dengan sistem IT, permintaan angsuran bodong dapat ditolak secara otomatis.
"Jadi mungkin pemanfaatan teknologi IT di BPR itu juga menjadi krusial untuk paling tidak agar tata kelolanya baik," pungkas Ary.
Kerap kali, fraud dilakukan antara calon debitur bekerjasama dengan dewan nan mempunyai kewenangan memberikan kredit. Lantas, calon debitur itu dengan mudah menerima angsuran tanpa melalui assessment alias penilaian. Kemudian terjadi kickback angsuran alias pembayaran terlarangan kepada pejabat bank tersebut.
"Dan nan lebih parah lagi angsuran fiktif. Benar-benar projeknya tidak ada dan di-create dan itu biasanya dilakukan berjemaah. Mulai dari dewan pegawai maupun bagian komite investasi," terang Ary.
(ayh/ayh)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Siap-Siap! Aturan IPO & Listing di BEI Bakal Diperketat!
Next Article Daftar Lengkap 15 Bank Bangkrut Sepanjang Tahun Ini