ARTICLE AD BOX
Jakarta, pendapatsaya.com --
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah mengingatkan pemerintah untuk menghitung prediksi perekonomian secara realistis, di mana lembaga-lembaga finansial dunia memperkirakan ekonomi Indonesia dapat bertumbuh di level sekitar 5 persen lebih, sejalan dengan sasaran pada APBN 2025 sebesar 5,2 persen.
Said mengatakan, dari sisi internal, Indonesia tetap berpotensi menghadapi pelemahan konsumsi rumah tangga nan menjadi penopang utama pertumbuhan perekonomian. Penurunan daya beli itu bakal berakibat terhadap tingkat permintaan nan rendah.
"Proyeksi bisa saja berubah jika dinamika ekonomi nasional dan dunia berubah drastis. Untuk itu, mari kita menghitung tantangan ke depan, agar lebih awal mempersiapkan diri, sekaligus membikin langkah nan memberikan lompatan krusial bagi perekonomian nasional," kata Said dalam rilis resmi, Kamis (2/1).
Tantangan pertama, adalah perang tarif secara global, dengan China nan menghadapi perang ekonomi secara multifront, dan perang tarif antara Amerika Serikat dengan Uni Eropa. Saat ini, Uni Eropa telah memberlakukan bea masuk mobil listrik dari Tiongkok sebesar 43 persen.
AS juga bakal memberlakukan tarif masuk ke Meksiko dan Kanada atas peralatan ekspor untuk meredam imigran dan peredaran narkotika, serta mengenakan tarif ekspor dari negara-negara nan melakukan dedolarisasi, seperti China dan negara-negara BRICS.
Menurut Said, perang tarif bakal menajam pada 2025, hingga Indonesia bisa terkena spillover effect, negatif maupun positif. Secara negatif, ketidakpastian upaya dunia makin tinggi, biaya ekspor juga berpotensi semakin tinggi.
"Namun jika Indonesia bisa menggantikan produk produk impor nan dibutuhkan kedua negara, maka kesempatan ekspor Indonesia bakal besar. Dengan demikian, pemerintah dan eksportir kudu membaca situasi ini sebagai kesempatan emas ke depan," katanya.
Kedua, penurunan perekonomian China sebagai mitra jual beli terbesar Indonesia, sejalan dengan pertumbuhan nan diprediksi Bank Dunia sebesar 4,5 persen pada 2025, lebih rendah dari prediksi pada 2024 sebesar 4,8 persen.
"Jika perekonomian China makin melambat lantaran produk ekspor globalnya terpukul, maka dampaknya juga bakal terasa terhadap produk ekspor Indonesia ke China. Pemerintah perlu menyiapkan mitigasi resiko atas menurunnya perekonomian China, semisal mencari negara lain sebagai pengganti ekspor ke China nan menurun," ujar Said.
Ketiga, perang tarif nan berakibat pada depresiasi USD terhadap rupiah. Said mengingatkan, pada perang tarif China-AS pada 2018, banyak pelaku pasar memilih menggenggam USD nan berisiko lebih rendah daripada mata duit lain. Jika situasi ini terulang, maka Indonesia kudu bersiap sejak awal untuk memperkuat sistem moneter.
"Saya mengapresiasi Bank Indonesia atas upayanya menggunakan triple intervention di pasar spot, swap, dan DNDF untuk memperkuat rupiah, termasuk penggunaan underlying pembelian USD dan rencana kebijakan debt switch/reprofiling," kata Said.
Said menilai, penguatan USD dapat berjalan lama andaikan perang tarif terjadi berkepanjangan. Dalam situasi ini, Indonesia didorong memanfaatkan diplomasi perdagangan internasional sehingga tata perdagangan bumi lebih adil, tanpa merugikan kepentingan Indonesia.
Sedangkan di dalam negeri, BI, OJK dan pemerintah disebut perlu mengatur devisa hasil ekspor untuk kepentingan nasional dengan lebih ketat. Masih di dalam negeri, Said lampau kembali menyinggung soal penurunan kelas menengah dan konsumsi rumah tangga sebagai tantangan berikutnya, nan dapat menjadi ancaman atas posisi Indonesia sebagai upper middle income country.
Secara langsung, penurunan daya beli bakal berakibat negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, Said menyarankan pemerintah untuk mengombinasikan program makan siang bergizi cuma-cuma dengan upaya menggerakkan ekonomi UMKM.
"Libatkan para pelaku UMKM dalam rantai pasok makan bergizi gratis. Langkah ini bakal berakibat multiplayer ekonomi, karena sektor UMKM bakal menyerap produk produk petani dan peternak. Apalagi sektor UMKM menopang tenaga kerja terbesar di Indonesia," ujar Said.
Tantangan kelima, adalah penyusutan kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap PDB. Hal ini dinilai banyak pihak sebagai deindustrialisasi. Namun, Said tak sepenuhnya setuju.
"Meskipun nomor statistik menunjukkan penurunan, namun kesempatan industri manufaktur kita bangkit sangat besar sekali. Sebab jika industri manufaktur tumbuh, saya berkeyakinan, kelas menengah juga bakal tumbuh sejalan dengan program industrialisasi, karena kelas menengah bisa menjadi tenaga kerja nan adaptif untuk menopang kebutuhan industri," paparnya.
Perluasan program hilirisasi diyakini Said menjadi kunci menjawab tantangan tersebut. Saat ini, hilirisasi baru diterapkan di sektor nikel. Said menyatakan, ekspansi hilirisasi bisa dilakukan terhadap bahan tambang selain nikel, seperti perkebunan, pertanian, dan kehutanan, khususnya nan menjadi kebutuhan rantai pasok global.
Terakhir, Indonesia juga dinilai berkesempatan menurunkan nomor Incremental Output Rasio (ICOR) nan selama dua tahun tertahan di nomor 6, tertinggi dibandingkan negara-negara setara. Secara umum, ICOR adalah komparasi antara pertumbuhan ekonomi dengan investasi nan dibutuhkan untuk mencapai sasaran pertumbuhan.
"Indonesia mempunyai kesempatan menurunkan ICOR jika sukses membereskan halangan ekonomi seperti korupsi, dan memberikan pesan nan jelas kepada penanammodal dan pelaku pasar tentang arah kebijakan perekonomian lima tahun ke depan," ujar Said.
Said menambahkan, dengan nomor ICOR nan rendah maka daya saing produk ekspor Indonesia bisa bertambah di pasar global. Selain itu, penurunan tingkat korupsi juga bakal memperkuat kepercayaan kepada pemerintah.
Sebelumnya, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 di level 5,1 persen, dengan Bank Dunia melalui laporannya Indonesia Economic Prospects pada Desember 2024 memperkirakan pertumbuhan ekonomi 5,1 persen. Sedangkan laporan OECD pada November 2024, memperkirakan pertumbuhan ekonomi 5,2 persen.
Untuk nomor inflasi rata-rata, Bank Dunia memprediksi di kisaran 2,4 persen, sementara Institute For Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan inflasi di level 2,8 persen, dengan sasaran inflasi APBN 2025 2,5 persen. Adapun IMF pada Oktober 2024 menggambarkan bahwa perjuangan dunia melawan inflasi bakal berhasil, dengan capaian 3,5 persen pada akhir 2025.
(rea/rir)
[Gambas:Video CNN]