Tragedi Kmp Tunu Di Selat Bali, Masalah Teknis Atau Kelebihan Muatan?

Sedang Trending 6 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, pendapatsaya.com --

Insiden karamnya Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Tunu Pratama Jaya menambah panjang deret kasus kecelakaan laut di Selat Bali dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun terakhir.

KMP Tunu tenggelam setelah 30 menit berlayar dari Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur menuju Pelabuhan Gilimanuk, Bali pada Rabu (2/7) malam. Hingga Kamis (3/7) petang, dari total 65 penumpang dan awak kapal KMP Tunu Pratama Jaya, sebanyak 35 orang sudah ditemukan. 6 orang di antaranya meninggal dunia, 29 lainnya selamat.

Insiden KMP Tunu sekarang menambah daftar kasus kecelakaan kapal di Selat dan Laut Bali menjadi enam kasus sejak 2015. Kecelakaan bukan hanya menimpa kapal penyeberangan, namun juga kapal milik TNI.

Kasus pertama dan nyaris sama terjadi pada 2016, saat KMP Rafelia II tenggelam pada 4 Maret 2016 dalam perjalanan dari Gilimanuk menuju Ketapang. Insiden itu menewaskan 6 penumpang.

Pada tahun nan sama, Juni 2016, kecelakaan menimpa speed boat Caspla Bali 3 nan membawa 34 penumpang. Boat dalam perjalanan dari Pelabuhan Buyuk Nusa Penida ke Pesinggahan. Setelah 10 menit berlayar, boat oleng setelah dihantam ombak besar. Salah satu penumpangnya dilaporkan jatuh ke laut dan tak ditemukan.

Kasus ketiga, pada 17 Mei 2018, KMP Labitra Adinda terbakar di Selat Bali saat melakukan pelayaran menuju Pelabuhan Ketapang sekitar pukul 14.00 WITA. Kapal mengangkut 18 penumpang, 12 kru kapal, 5 unit truk, 2 sepeda motor dan 5 truk tronton. Namun, tak ada laporan korban tewas.

Keempat, pada 2019, Kapal Tunu Pratama Jaya 3888 berbenturan dengan dengan KMP Jalur Nusa saat bakal bersandar di Pelabuhan Ketapang 31 Mei 2019. Meski begitu, tak ada korban jiwa dalam kejadian itu.

Kelima, pada Juni 2021, KMP Yunicee tenggelam lantaran pecah lambung 300 meter dari Pelabuhan Gilimanuk sekitar puukul 19.06 WITA. Yunicee tercatat membawa 123 orang, dan hingga operasi SAR dihentikan, belasan penumpang tak ditemukan.

Keenam, 21 April 2021, alutsista milik TNI Angkatan Laut lenyap kontak saat berlatih penembakan kepala torpedo di Perairan Utara Laut Bali. Kapal selam buatan Howal Deutsche Werke di Kiel, Jerman pada tahun 1977 tersebut membawa ABK sebanyak 53 orang.

Posisi Nanggala-402 ditemukan terbelah menjadi 3 bagian di kedalaman 838 meter empat hari kemudian. Badan tekan (pressure hull) KRI Nanggala-402 hingga saat ini belum ditemukan dan 53 orang prajurit tersebut diduga berada di dalamnya.

Senior investigator Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Aleik Nurwahyudi menyebut dari sejumlah kasus kecelakaan kapal di Selat dan Laut Bali, kejadian KMP Tunu menyerupai kasus KMP Yunicee dan Rafelia II.

KNKT, kata dia, mengaku tetap mendalami dugaan kebocoran kapal dalam kejadian KMP Tunu. Sebab, ada keterangan lain nan menyebut kapal terbalik dengan cepat.

"Kita tetap dalami pernyataan bocornya kapal. Karena ada cerita lagi kapal terbalik dengan cepat," kata Aleik saat dihubungi, Kamis (3/7).

Menurut Aleik, kapal terbalik bisa disebabkan sejumlah hal. Selain cuaca, kapal terbalik juga bisa disebabkan lantaran kelebihan muatan. Namun, kata dia, cuaca biasanya menjadi parameter untuk mengambil keputusan sebelum kapal berlayar.

Keputusan terutama berangkaian dengan muatan kapal. Oleh lantaran itu, kata dia, nakhoda kudu mempunyai keahlian untuk memahami stabilitas kapal. Selama ini, kata Aleik, kecelakaan kapal tenggelam banyak disebabkan lantaran muatan, meski ada aspek cuaca.

"Dua-duanya kontributornya aspek pemaksaan muatan. Ibaratnya angkot, sudah maksimum 8 dipaksa bawa 16 orang," katanya.

Mirip ujung tutup botol, pengaruh arus laut kuat

Sementara, dari aspek geografis, terang Aleik, jalur lintas penyeberangan Ketapang-Gilimanuk seperti ujung tutup botol. Secara tiga dimensi, kontur muka dasar laut di letak tersebut mengerucut. Bentuk itu menyebabkan pengaruh arus laut nan kuat.

Di sisi lain, di atas permukaan, ada dua gunung besar nan mengapit. Imbasnya, angin luar bisa bertiup kencang. Ditambah lagi, Selat Bali alias selat lain di Selatan Indonesia, merupakan pintu masuk air dari Samudera Hindia.

"Jika terjadi pergolakan di Samudera Hindia, Selat Bali nan paling ekstrem dapat imbasnya," kata dia.

Penyebab kapal oleng

Kepala Departemen Teknik Perkapalan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Teguh Putranto berambisi KNKT segera membentuk tim investigasi untuk mendalami penyebab KMP Tunu tenggelam.

Namun, berasas temuan awal, Teguh menyebut bahwa kapal oleng umumnya disebabkan lantaran masalah stabilitas. Menurut dia, kapal mempunyai pemisah oleng (kapal miring ke samping) nan diizinkan. Ketika melewati pemisah oleng, sudah dipastikan kapal bakal terbalik.

KNKT, menurut dia, perlu dengan sigap mengumumkan hasil penyelidikan tenggelamnya kapal ini.

Secara ilmiah, kapal terbalik umumnya disebabkan oleh masalah stabilitas. Menurut dia, kapal mempunyai pemisah oleng (kapal miring ke samping) nan diizinkan. Ketika melewati pemisah oleng, sudah dipastikan kapal bakal terbalik.

Dia menjelaskan, masalah stabilitas tersebut disebabkan kondisi gelombang dan kebocoran. Gelombang dari arah samping kapal bakal memberikan respons oleng berlebih pada kapal. Selain itu, kebocoran kapal baik di bilik mesin maupun kompartemen lainnya juga menjadi penyebab kapal oleng.

"Ketika oleng kapal semakin besar menyebabkan permukaan air laut masuk ke geladak kapal sehingga ini bakal mempercepat kapal terbalik," katanya, Jumat (4/7).

Teguh mengatakan, pelajaran dari kejadian KMP Tunu perlu lebih diwaspadai pada kondisi cuaca dan performa kapal. Cuaca nan ekstrim dapat menimbulkan gelombang tinggi. Bila performa kapal tidak baik, kata dia, misalnya kondisi struktur kapal harusnya perlu perbaikan, bakal meningkatkan kesempatan kecelakaan ini.

Oleh lantaran itu, Teguh menilai pengaturan muatan penumpang dan peralatan perlu lebih diperketat.

Selain itu, Teguh menilai Kementerian Perhubungan, ASDP dan pihak mengenai perlu meningkatkan kewaspadaan, misalnya dengan penguatan izin keselamatan, pengawasan teknis kapal secara rutin, dan peningkatan SDM dengan training keselamatan dan simulasi pemindahan berkala.

"Selain itu, sistem pemantauan dan komunikasi kapal kudu diperkuat agar dapat mendeteksi kondisi darurat secara cepat. Sosialisasi prosedur keselamatan kepada penumpang juga krusial guna mengurangi resiko selama pelayaran," katanya.

(dal/thr/dal)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya