ARTICLE AD BOX
pendapatsaya.com, Jakarta Gempa magnitudo (M) 4.9 di wilayah Jabodetabek pada Rabu (20/8/2025) pukul 19.54 WIB dipicu oleh aktivitas Sesar Naik Busur Belakang Jawa Barat (West Java Back-arc Thrust). Sesar ini biasa dikenal dengan nama Sesar Baribis.
Bencana itu menyebabkan rumah dan gedung rusak, perjalanan KRL dan Whoosh terganggu. Jakarta dan wilayah penyangganya pun perlu mewaspadai ancaman dari pergerakan Sesar Baribis untuk meminimalisir akibat kerusakannya.
Peneliti Bidang Gempa dan Kebencanaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Danny Hilman menilai Jakarta dan wilayah sekitarnya tidak siap menghadapi gempa nan disebabkan pelepasan daya sesar purba itu.
Menurut Danny, bangunan-bangunan, terutama rumah masyarakat di Jabodetabek tidak didesain memenuhi standar tahan gempa seperti diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 1726 tahun 2019. Selain itu, banyak gedung di Jakarta sudah tua lantaran dibangun berasas info kegempaan di masa lampau sehingga menambah tingkat kerawanannya.
"Seberapa siap, saya pikir sih enggak siap secara umum ya, lantaran apa namanya, gedung nan didesain tahan gempa pun kan tetap terbatas ya," kata Danny dalam wawancara dengan pendapatsaya.com, Rabu (27/8/2025).
Faktor lainnya, kata Danny, banyak masyarakat belum mengerti mengenai potensi gempa dan akibat kerusakan dari gempa Sesar Baribis. Dia menyebut, pemberian edukasi mengenai ancaman gempa Sesar Baribis ini tetap sangat minim.
Padahal, pengetahuan dan kesadaran masyarakat menjadi komponen kunci untuk memastikan keselamatan diri dan keluarga. "Jadi secara umum masyarakat tetap belum aware lah gitu ya, belum ada kesanaran untuk menentukan gempa," kata
Jabodetabek Perlu Tiru Jepang
Melihatnya pentingnya mitigasi ini, Jabodetabek perlu belajar dari negara seperti Jepang lantaran sama-sama rentan mengalami musibah gempa. Letaknya nan berada di empat lempeng tektonik membikin Jepang sering diguncang gempa bumi. Mengingat akibat gempa bumi nan tinggi, pemerintah Jepang mencari langkah untuk meminimalkan akibat dari gempa.
Dengan letak geografisnya nan rawan, gedung di Jepang dirancang agar tahan terhadap gempa besar.
Dilansir National Geographic, Jepang menerapkan patokan ini pertama kali setelah gempa bumi dengan magnitudo 7,9 terjadi pada tahun 1923. Gempa itu menyebabkan lebih dari 140 ribu korban jiwa dan merusak ratusan ribu bangunan.
Peraturan seismik di Jepang ini awalnya konsentrasi pada penguatan struktur baru nan sedang dibangun di area perkotaan. Mereka lampau menambahkan pengawasan terhadap bangunan gedung kayu dan beton.
Selanjutnya, pemerintah Jepang sukses mewujudkan sejumlah perubahan signifikan, terutama melalui Building Standard Law pada 1950 dan New Earthquake Resistant Building Standards Amendment pada 1981. Undang-undang 1950 menetapkan standar gedung nan bisa menahan gempa hingga magnitudo 7 tanpa masalah serius.
Ada beberapa langkah agar gedung di Jepang diwujudkan sesuai standar tahan gempa. Salah satu metode nan paling terkenal adalah dengan memasang bantalan, seperti karet di dasar pondasi gedung sehingga dapat meredam guncangan.
Sistem Peringatan Dini Jepang
Jepang saat ini juga mempunyai sistem peringatan awal paling canggih di dunia. Menurut, Badan Meteorologi Jepang, sistem peringatan ini awalnya dikembangkan untuk digunakan dalam memperlambat dan menghentikan kereta api berkecepatan tinggi sebelum terjadi gempa.
Keberhasilan program tersebut ditambah dengan akibat luar biasa gempa bumi Kobe tahun 1995 membikin Jepang membangun sistem peringatan awal nasional. Pada 1 Oktober 2007, Badan Meteorologi Jepang resmi meluncurkan peringatan awal gempa bumi nan disiarkan melalui televisi dan radio.
Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Sonny Aribowo mengatakan Indonesia perlu meniru langkah Jepang menerapkan system peringatan awal musibah tersebut. Sistem peringatan awal gempa di Jepang memberikan pengumuman awal tentang perkiraan intensitas gempa dan perkiraan waktu datangnya gempa.
Selain disiarkan di televisi dan radio, ponsel penduduk Jepang bakal bersuara ketika terjadi gempa. Ini lantaran handphone penduduk Jepang dilengkapi aplikasi untuk mendeteksi gelombang gempa. Tidak hanya peringatan, pemerintah bakal mengirimkan proses dan jalur pemindahan jika musibah terjadi.
"Kita contoh gimana Jepang mengembangkan early warning system. Jadi ketika ada gempa gimana ada warning nan langsung masuk ke HP dan tidak hanya peringatan, tapi juga gimana mereka melakukan evakuasi," papar Sonny.
Jepang juga belajar dari pengalaman musibah di masa lampau dengan mengembangkan kesadaran akibat lewat sekolah sebagai strategi untuk mengurangi akibat bencana. Tujuan utamanya adalah agar siswa dapat aktif berkontribusi dalam mengurangi akibat musibah di organisasi mereka.
"Kita lihat kebiasaan mereka menghadapi gempa itu, jika kita bilang sudah siap sekali ya," ujar Sonny.
Ada satu kisah dramatis nan tersohor di Jepang tentang Miracle of Kamaishi. Kisah ini menceritakan upaya sebuah sekolah berjulukan Kamaishi dalam menghadapi gempa bumi dan tsunami 2011 silam.
Tsunami setinggi 10 meter meluluhlantakkan nyaris seluruh Jepang. Bangunan dan prasarana porak poranda dan rusak berat. 15.269 korban tewas, 5.363 korban luka, dan 8.526 korban hilang.
Akan tetapi, seluruh siswa SD dan SMP Kamaishi nan berjumlah nyaris 3.000 orang sukses selamat. Mereka mengungsi ke tempat nan lebih tinggi dan tidak ada korban jiwa. Cerita ini membuktikan pentingnya edukasi akibat musibah di sekolah bisa menyelamatkan ribuan nyawa anak-anak.
Sonny mengatakan, penduduk Jepang sudah terbiasa diajari pendidikan musibah sejak kecil, baik di family alias sekolah. Menurut dia, langkah Jepang ini sangat krusial ditiru sebagai mitigasi musibah paling awal.
"Dari mini mereka sudah diajari untuk menghadapi gempa. Dan itu nan perlu kita contoh, jadi kita mesti, ya sekali lagi pendidikan usia awal terhadap pengetahuan gempa bumi dan tektonik itu sangat krusial di Indonesia," papar Sonny.
Mitigasi Bencana di Indonesia
Di Indonesia, Sonny menyebut, pemerintah nan daerahnya menjadi jalur patahan Sesar Baribis sebenarnya telah menyiapkan langkah mitigasi bencana. Salah satunya tas jaga nan berisi segala sesuatu nan urgent ketika terjadi gempa dalam satu tas.
Hanya saja, program ini belum tersosialisasi masif ke masyarakat. Dia berambisi pemerintah wilayah dan stakeholder lain bisa lebih gencar memberikan edukasi kepada publik agar kesiapsiagaan musibah menjadi kebiasaan.
"Mudah-mudahan dengan pendidikan nan terus menerus dilakukan ini bakal jadi sebuah kebiasaan," ujar Sonny.
Bagi pemerintah wilayah di Jabodetabek, Sonny menyarankan segera lakukan audit berkala kekuatan bangunan, edukasi dan simulasi gempa bagi penunggu bangunan. Upaya ini sangat krusial untuk menyelamatkan banyak manusia jika gempa besar Sesar Baribis terjadi di masa mendatang.
"Perlu langkah nan lebih banyak lagi. Jadi pengetahuan gempa ini adalah sebuah kebiasaan nan bakal bisa kita lakukan," tutup Sonny.