ARTICLE AD BOX
Jakarta, pendapatsaya.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus berupaya mendorong perkembangan industri perbankan nasional. Salah satunya lewat penetapan blueprint transformasi digital perbankan.
Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perbankan OJK, Indah Tiramadhini menuturkan, dalam menetapkan kebijakan dan pengaturan, OJK melakukan perubahan pendekatan dari extreme rule based alias berjuntai sepenuhnya pada patokan menjadi principle based alias kebijakan berasas prinsip umum.
Melalui pendekatan principle based, OJK mau membuka ruang nan lebih elastis kepada para industri perbankan untuk berinovasi.
Namun, penemuan nan dilakukan para pelaku upaya perbankan kudu dibarengi dengan prinsip kehati-hatian. Jadi, tetap ada batas-batas tertentu nan kudu dipatuhi setiap pelaku upaya perbankan.
"Nah, untuk teknologi digital ini ya di dalam perbankan kita tahu masif ya. Kami telah menerbitkan roadmap. Roadmap pengembangan perbankan Indonesia tahun 2020 sampai dengan 2025," ujar dia dalam Fintech Forum, Senin (15/9/2025).
Mengingat peta jalan pengembangan industri perbankan Indonesia periode 2020-2025 sudah mendekati pemisah akhir, maka OJK bakal memperbaruinya untuk lima tahun mendatang. Dari peta jalan ini terdapat salah satu pilar mengenai percepatan teknologi info jasa finansial digital.
"Kita pun telah menerbitkan kebijakan POJK Nomor 11 Tahun 2022 tentang penyelenggaraan teknologi informasi. Disitu itu komplit mengenai manajemen akibat IT, mengenai tata kelola IT, kemudian mengenai arsitektur dari penggunaan IT termasuk menekankan keamanan-keamanan siber," jelasnya.
Selain itu, OJK juga telah menerbitkan Surat Edaran OJK Nomor 29 Tahun 2022 tentang Ketahanan dan Keamanan Siber. Dalam surat info tersebut, OJK mengatur secara komplit gimana manajemen risiko, pengukuran risiko, serta langkah-langkah perbankan dalam melakukan penilaian terhadap tingkat maturitas keamanan sibernya.
"Kemudian juga diwajibkan untuk melakukan simulasi serangan maupun penetration test. Jadi di sini, ini merupakan SEOJK memang jika misalkan hukuman ya, tadi disebutkan hukuman itu adalah melekat ke POJK-nya, SEOJK panduan, tapi kan kita memandang jika tidak melakukan hal-hal sebagaimana di SEOJK tersebut, tentunya nan rugi adalah bank itu sendiri," tutur dia.
Indah melanjutkan, pada dasarnya bank bekerja dengan landasan kepercayaan masyarakat dalam menjalankan kegunaan intermediasi. Apabila terjadi serangan siber dan tidak bisa ditanggulangi dengan baik, maka kepercayaan masyarakat terhadap bank bakal menurun.
"Begitu menurun bisa menarik data, pindah, pindah menyimpan dananya ke bank lain. Nah ini jika terjadi seperti ini tentunya bakal membikin kegaduhan lah di dalam masyarakat, nan kelak mungkin jika misalkan ukuran bank itu kecil, tapi kan bank sekarang kan mini alias besar, pengaruhnya bisa saja menjadi besar di masyarakat," kata dia.
Pada akhirnya, kondisi tersebut bakal mengganggu stabilitas perbankan, apalagi jika bank tersebut mempunyai skala upaya nan besar dengan pengguna nan tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Jadi, kesadaran terhadap keamanan siber bagi perbankan bukan hanya lantaran ada unsur kepatuhan saja, melainkan juga ada urgensi tertentu.
Indah pun menegaskan, saat ini sejumlah perbankan nasional sudah cukup alim dengan peraturan nan ada. Maka dari itu, OJK berambisi perbankan juga bisa terus beradaptasi mengingat ketentuan nan dibuat OJK merujuk pada pendekatan principle based.
(dpu/dpu)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Di Tengah Perang Dagang AS, Begini Hasil Stress Test Perbankan RI