Jejak Gempa Sesar Baribis, Bahaya Yang Tidur Di Bawah Kaki Jutaan Orang Di Jabodetabek

Sedang Trending 2 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

pendapatsaya.com, Jakarta Rabu malam, 20 Agustus 2025 pukul 20.15 WIB, Ferdi kaget memandang laptop di mejanya bergoyang. Kaki, tangan, dan tubuhnya ikut bergetar. Guncangannya kuat hingga menggoyangkan meja dan sejumlah peralatan kantor.

"Terasa lumayan kuat,” kata Ferdi bercerita kepada pendapatsaya.com. 

Ferdi saling lirik dengan Ahmad, kawan satu sift di kantornya. Mereka akhirnya sadar setelah guncangan nan terjadi 10 detik. Rupanya itu gempa. Pekerja swasta di Jakarta Pusat ini lari menuju lantai dasar.

Tiba di lantai dasar, Ferdi mengambil handphone lampau berselancar di media sosial. Benar saja, penduduk di area Jabodetabek sudah gempar merasakan gempa seperti dirinya. Gempa itu berkekuatan Mag 4,9 nan berpusat di Kabupaten Bekasi. Berdasarkan info BMKG, gempa jenis dangkal ini cukup untuk menggetarkan wilayah Jabodetabek. "Sebagai antisipasi, kami semua melakuka sesuai standar prosedur keluar dan berkumpul di ruang terbuka,” kata dia.

Serangkaian gempa Bekasi kembali terjadi di Jawa Barat sejak Rabu malam (20/8/2025) sampai Kamis pagi (21/8/2025). PVMBG melaporkan, gempa rupanya dipicu Sesar Baribis melepaskan energi.

Pusat gempa itu termasuk jalur Sesar Baribis nan memanjang lebih dari 100 Km. Wilayah nan dilalui sesar ini di antaranya selatan Indramayu, sisi barat Subang dan Purwakarta, Cirebon, Karawang, Cibatu (Bekasi), Depok, Jakarta hingga Tangerang. 

Peneliti Bidang Geologi Gempa dan Kebencanaan di Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Kebumian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Danny Hilman mengatakan, potensi gempa dari Sesar Baribis ini tetap besar meskipun saat ini didominasi gempa-gempa skala kecil.

Sejarah Sesar Baribis: Pemicu Gempa Besar di Jakarta

Sejarah mencatat, Sesar Baribis bukan sekadar ancaman gempa hari ini. Gempa besar pernah mengguncang Jakarta pada 22 Januari 1780 berkekuatan magnitudo 7-8. Ini merupakan contoh nyata ancaman gempa nan diakibatkan pergerakan Sesar Baribis.

Penelitian Nguyen dan Tim tahun 2015 dengan tajuk 'Indonesia’s historical earthquakes: Modelled examples for improving the national' menggambarkan guncangan tanah dirasakan di seluruh Jawa dan bagian tenggara Sumatera. Guncangan terkuat terjadi di Jawa Barat.

Gempa menyebabkan 27 penyimpanan dan rumah runtuh di Zandsee dan kanal Moorish gracht (Wichmann, 1918), nan sekarang terletak di Jakarta Pusat, di letak Gedung Pusat Kebudayaan Jakarta saat ini.

Dilaporkan juga terjadi “ledakan dahsyat” nan terdengar dari Gunung Salak 2 menit setelah gempa, dan Gunung Gede mengeluarkan asap. Sementara itu, Bantam (Banten) mengalami getaran kuat. Getaran lemah juga dirasakan di Cheribon (Cirebon), dan gempa laut (seaquake) diamati oleh kapal Willem Frederik nan berada di pintu masuk Selat Sunda.

Gempa besar berikutnya akibat Sesar Baribis terjadi 10 Oktober 1834. Guncangan mini pada malam 10 Oktober 1834 didahului oleh sebuah “guncangan besar” pada pagi hari, nan dirasakan di Batavia (Jakarta), Bantam (Banten), Krawang (Karawang), Buitenzorg (Bogor), dan Karesidenan Preanger (Priangan).

"Paling buruknya pada 1834 itu Magnitudonya sampai 7 ya dan wilayah Jabodetabek itu sangat-sangat padat ya," tutur Danny.

Guncangan tanah juga dirasakan hingga Tagal (Tegal) di Jawa Tengah bagian timur, sampai Lampongs (Lampung) di Sumatra Barat. Gempa magnitudo minimum nan terjadi ialah magnitudo 7,0.

Ketika itu, kerusakan nan ditimbulkan cukup parah. Istana Bogor sebagian runtuh, termasuk bagian utara gedung utama, tembok luar timur, dan gedung tambahan paling utara. Rumah-rumah di Jakarta Timur rusak. Termasuk gedung pemerintah di Weltevreden (sekarang area Kementerian Keuangan).

Selain itu, akibat gempa ini, reruntuhan menyumbat aliran Sungai Tjiandjawar. Ketika sumbatan itu terlepas, terjadi banjir bandang nan menghanyutkan stasiun pos beserta massa tanah, batu, dan pohon ke hilir.

Guncangan lebih mini dirasakan di Tjileboet (Cilebut) dan Koripan (Kuripan, Ciseeng) di wilayah Kabupaten Bogor saat ini, serta di Pondok Terong, Sawangan, dan Cineri (Cinere) di wilayah Depok saat ini.

Saat ini, pemantauan mulai Juli 2019 hingga Juli 2021 terdeteksi total 12 gempa bumi nan terjadi sangat dekat dengan garis Sesar Baribis. Dari jumlah tersebut, 10 kejadian sukses diidentifikasi dalam studi ini, sedangkan dua sisanya dilaporkan oleh penelitian sebelumnya.

Asal Usul Sesar Baribis

Nama Baribis dalam Sesar Baribis diambil dari nama Perbukitan Baribis di wilayah Kadipaten, Majalengka, Jawa Barat. Sesar ini diperkenalkan pertama kali oleh van Bemmelen.

Dalam pengetahuan geologi, sesar alias patahan merupakan fraktur planar alias diskontinuitas dalam volume batuan nan telah ada perpindahan signifikan sebagai akibat dari aktivitas massa batuan. 

Sesar-sesar berukuran besar di kerak bumi adalah hasil dari tindakan style lempeng tektonik. Energi nan dilepaskan itu menyebabkan aktivitas nan sigap pada sesar aktif. Inilah nan menjadi penyebab utama gempa bumi. 

Para peneliti bersepakat, Sesar Baribis adalah sesar aktif nan menjadi bagian dari area patahan panjang West Java Back-Arc Thrust.

West Java Back-Arc Thrust adalah patahan aktif nan membentang di sisi utara Pulau Jawa bagian barat. Patahan ini memanjang dari Kuningan ke timur, melewati Cirebon, Majalengka, Subang, hingga terpecah menjadi beberapa segmen saat memasuki wilayah Karawang, Bekasi, dan Bogor.

Istilah back-arc merujuk pada posisinya nan berada "di belakang" busur vulkanik alias rangkaian gunung api di Jawa Barat jika dilihat dari sisi selatan.

"Ya sesar Baribis, (West) Java Back-Arc Thrust ya. Memang sudah dikenal sebagai sesar aktif ya, sudah cukup lama juga. Itu sudah masuk ke peta gempa nasional Pusgen sejak tahun 2017," papar Danny.

Peneliti Siska Febyani, dkk dalam Bulletin of Scientific Contribution Geology mengungkap kebenaran lanjutan. Jurnalnya nan berjudul Analisis Kerentanan Gempa pada Jalur Sesar Baribis Menggunakan Metode Microearthquake (MEQ) itu menyatakan, sesar Baribis termasuk sesar muda.

Aktivitas sesar nan mempunyai panjang jalur mencapai ±100 km ini sudah berjalan sejak era Pleistosen Akhir hingga Holosen, artinya tetap relatif muda dan aktif hingga ribuan tahun terakhir, terutama pada segmen bagian utara. Menurut UBC tahun 1997, sesar ini diklasifikasikan Sesar Aktif Tipe C.

Sesar ‘Tidur’ di Bawah Jakarta

Penelitian BRIN menyebutkan, ada indikasi sesar ini melintasi selatan Jakarta (perbatasan dengan Depok) dan Bogor. Fakta mengejutkan juga terungkap dalam kajian nan dipublikasikan di jurnal ilmiah bergengsi Scientific Reports (Nature) nan dikonfirmasi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

"Keaktifan sesar ini didukung hasil monitoring peralatan sensor seismografi BMKG di mana terdapat aktivitas gempa nan terpantau di jalur sesar, meskipun dalam magnitudo mini 2,3–3,1," kata Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono dalam keterangannya.

Sesar nan berada di bawah Jakarta ini terbukti aktif dan menyimpan potensi gempa signifikan ketika daya elastis nan terakumulasi dilepaskan saat sesar ini patah. BMKG menyatakan Sesar Baribis mempunyai laju geser sekitar 5 milimeter per tahun.

Sesar ini kudu diantisipasi dampaknya lantaran bisa menimbulkan gempa-gempa lokal nan dangkal dengan intensitas tinggi. Memicu pergeseran tanah dan ancaman di kemudian hari.

Kejadian gempa Bekasi pada 20 Agustus 2025 menjadi pelajaran dan pengingat nyata bahwa Sesar Baribis tetap aktif dan dapat memicu guncangan nan berakibat pada masyarakat maupun prasarana strategis. Apalagi di atas tanah tinggal jutaan populasi. Perlu kesadaran dari pemerintah dan masyarakat. 

"Kita sudah belajar banyak ya, mulai dari gempa Palu, Lombok, Banten, mulai dari Aceh malah ya nan dari gempa, jadi sudah banyak sekali contoh," tutup Danny.

Selengkapnya