ARTICLE AD BOX
pendapatsaya.com, Jakarta Ayu (28) seorang pekerja swasta di Jakarta Pusat pulang kerja seperti biasa, naik Kereta Rel Listrik (KRL) dari Stasiun Gondangdia menuju Bekasi. Selama naik kereta sekira pukul 18.55 WIB pada Rabu 20 Agustus 2025, Ayu tak merasa ada nan aneh.
Tiba di Stasiun Bekasi sekitar pukul 19.56 WIB, Ayu heran memandang orang-orang nan kasak-kusuk dan terlihat resah sembari sibuk menatap layar ponsel. Beberapa di antaranya bilang, baru saja terjadi gempa bumi.
“Rame banget. Rekan saya ditelepon orang tuanya, katanya barusan ada gempa. Saya langsung panik, buru-buru cek Twitter. Dan benar, BMKG bilang 4,7 magnitudo,” kata Ayu kepada pendapatsaya.com, Kamis 28 Agustus 2025.
Degup jantung Ayu kian kencang saat tiba di rumah. Ia mendengar cerita ibunya nan sempat merasakan guncangan dahsyat lantaran gempa.
“Kata Mama, goyangnya kenceng. Sampai Mama keluar rumah, tetangga juga keluar semua. Panik,” tuturnya.
Fakta lain membikin Ayu tercengang, ialah letak pusat gempa nan rupanya berada sekitar 14-19 kilometer (km) tenggara Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Bagi Ayu, peristiwa ini agak langka, meski pun tak dipungkiri gempa kerap melanda Jawa Barat.
“Biasanya jika Bekasi kerasa gempa, pusatnya jauh. Kali ini titiknya di Kabupaten Bekasi, tenggara. Nggak nyangka,” ucap Ayu.
Belum reda rasa cemas Ayu, pukul 20.30 WIB gempa susulan kembali terjadi. Meski kekuatan gempa terhitung kecil, Ayu dan family nan tinggal di Kota Bekasi itu jadi tak bisa tidur.
“Kecil sih, hanya magnitudo 2. Tapi tetap bikin was-was. Saya terus ngecek Twitter, takut ada nan lebih besar,” katanya.
Cerita Ayu hanyalah salah satu pengingat bahwa gempa bumi bukan lagi ancaman jauh di luar Bekasi. Guncangan nan terasa pada Rabu malam itu menjadi sirine bagi jutaan penduduk di Jabodetabek bahwa musibah bisa datang kapan saja, apalagi di wilayah nan selama ini dianggap aman.
Dua Patahan Aktif
Gempa dengan Magnitudo 4,7 nan berpusat di Kabupaten Bekasi itu bukan hanya sekadar angka. Ia membuka kembali perbincangan soal potensi gempa besar dari patahan aktif nan melintas di jantung Jawa Barat, ialah Sesar Baribis dan Sesar Lembang.
Jawa Barat bukan hanya dikenal sebagai wilayah dengan kepadatan masyarakat tinggi, tetapi juga menyimpan potensi musibah nan jarang disadari.
Dua patahan aktif, ialah Sesar Lembang dan Sesar Baribis, menjadi perhatian para mahir kebencanaan lantaran keduanya melintas di wilayah dengan prasarana vital dan aktivitas ekonomi nan masif.
Menurut Peneliti Pusat Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sonny Aribowo ancaman dari kedua sesar ini memang perlu diwaspadai lantaran lokasinya nan strategis.
“Kenapa jadi ancaman? Karena melewati kota-kota nan padat masyarakat dan infrastrukturnya sudah sangat terbangun dengan baik,” kata Sonny kepada pendapatsaya.com, Kamis (28/8/2025).
Sesar Lembang membentang di bagian utara Bandung Raya dengan panjang sekitar 29 km. Sesar ini tergolong patahan mendatar (strike-slip), meskipun di beberapa titik terdapat komponen naik. Dengan karakter ini, potensi gempa maksimum nan bisa ditimbulkan Sesar Lembang bisa mencapai Magnitudo 7,0.
Letak Sesar Lembang nan berada di wilayah strategis tersebut membuatnya sebagai salah satu sesar paling berisiko di Pulau Jawa. Sebab, jika daya tektonik terlepas, akibat nan ditimbulkan tidak hanya kerusakan fisik, tetapi juga kelumpuhan aktivitas sosial dan ekonomi di area metropolitan pulau Jawa.
Di sisi lain, Sesar Baribis memanjang sekitar 100 km di wilayah timur Jawa Barat, melintasi Purwakarta, Majalengka, hingga mendekati Cirebon. Berbeda dengan Sesar Lembang nan mendatar, Sesar Baribis merupakan patahan naik (thrust fault). Karakter ini menunjukkan bahwa sebagian wilayah di sisi selatan sesar relatif terangkat.
"Nah nan Baribis itu pun beberapa segmen punya kemungkinan panjang nan nyaris serupa. Jadi maksimum magnitudonya itu bisa sampai 7," ujarnya.
Risiko Besar di Kawasan Perkotaan
Meski karakteristiknya berbeda, ancaman kedua sesar ini sama besarnya. Namun, Sonny menegaskan, nan lebih menentukan tingkat ancaman bukan hanya magnitudo. Tetapi juga kepadatan masyarakat di wilayah nan dilintasi patahan.
Sonny berujar, sesar nan melintas di area perkotaan jelas mempunyai akibat lebih tinggi dibandingkan dengan nan berada di wilayah minim penduduk.
"Kalau ini dibilang lebih bahaya, ya ketika patahan ada di letak nan padat masyarakat itu bakal lebih ancaman dibandingkan kampung nan lokasinya tidak padat penduduk," kata Sonny.
Hingga sekarang belum ada info nan menunjukkan kedua sesar ini saling terhubung, meski kerap mendapat julukan sesar kembar.
“Sekali lagi kita tetap belum tahu apakah memang Baribis dan Lembang ini menyambung alias tidak. nan pasti ketika daya dari selatan Pulau Jawa itu bakal terbagi di beberapa segmen sesar plus juga Lembang dan Baribis tadi bakal terbagi energi," jelas dia.
Bagi Sonny, info tentang keberadaan sesar aktif bukan untuk menimbulkan rasa takut, tetapi untuk meningkatkan kewaspadaan. “Ketika kita punya pengetahuan, kita bakal sibuk dengan kewaspadaan nan lebih,” ucapnya.
Dia menekankan pentingnya edukasi masyarakat sejak awal tentang mitigasi gempa, mulai dari memahami karakter gempa, langkah pengamanan diri, hingga memastikan gedung memenuhi standar tahan guncangan.
Selain edukasi, pertimbangan struktur gedung di sepanjang jalur patahan juga dinilai mendesak untuk dilakukan. Pasalnya, sebagian besar korban gempa terjadi bukan lantaran guncangan itu sendiri, melainkan akibat gedung nan roboh.
"Edukasi masyarakat sejak mini tentang gempa bumi ini adalah perihal nan paling krusial ya untuk ke depannya kita menghadapi ancaman gempa bumi," tandasnya.