ARTICLE AD BOX
Jakarta, pendapatsaya.com --
Mantan interogator KPK Mochamad Praswad Nugraha kecewa dengan Mahkamah Agung (MA) nan mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) terpidana kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP) nan juga mantan Ketua DPR RI Setya Novanto dan memangkas balasan menjadi 12,5 tahun penjara.
Dalam praktik hukum, terang Praswad, PK semestinya bukan menjadi jalan pintas untuk membatalkan rasa keadilan nan telah diperjuangkan melalui proses panjang, ialah dari penyidikan, penuntutan, hingga putusan berkekuatan norma tetap.
Dia menyatakan putusan PK tersebut kudu menjadi sirine keras bagi MA dan sistem peradilan pada umumnya untuk mengembalikan kepercayaan publik.
"Ketika vonis terhadap koruptor besar dikurangi, sementara banyak aktivis antikorupsi dikriminalisasi, maka kita menghadapi krisis keadilan nan akut," kata Praswad melalui keterangan tertulis, Jumat (4/7).
"Perlu ada pertimbangan menyeluruh atas sistem dan pertimbangan dalam pengabulan PK, termasuk transparansi proses pengambilan putusan oleh Majelis Hakim Agung," imbuhnya.
Praswad pun menyinggung drama penangkapan Setnov nan disebutnya bukan orang biasa. Ia juga mengingatkan kasus e-KTP merupakan salah satu korupsi besar dan kompleks nan pernah ditangani KPK. Bukan hanya lantaran alur transaksinya nan sulit, melainkan juga gimana upaya Setnov melepaskan diri dari tanggung jawab.
Dalam masa tersebut, kata Praswad, terdapat beragam intervensi terhadap proses penegakan hukum.
"Secara personal, Setya Novanto berupaya melarikan diri, nan mana perihal tersebut dilakukan ketika saya menjadi salah satu interogator nan ditugaskan untuk menangkapnya ketika berstatus sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) pada tahun 2017," ucapnya.
Pada masa tersebut, melalui upaya nan tidak biasa, Praswad bercerita pada akhirnya sukses menangkap Setnov di RS Medika Permata Hijau dengan langkah nan tidak mudah.
Hal itu dikarenakan terdapat sejumlah upaya dari pihak pengacara maupun master untuk menghalangi proses penegakan norma tersebut. Bahkan, Praswad mengaku sampai kudu memperkuat di depan pintu semalaman untuk memastikan Setnov tidak kabur dari RS.
"Hal tersebut menunjukkan bahwa Setya Novanto bukan orang biasa, tetapi mempunyai peran krusial sebagai political exposed person nan meskipun KPK telah berupaya keras, justru vonisnya dipotong melalui Peninjauan Kembali (PK)," imbuhnya.
Praswad nan merupakan Ketua Southeast Asia Anti-Corruption Syndicate (SEA Actions) menilai putusan PK tersebut menjadi preseden serius dan mencoreng rasa keadilan publik dalam pemberantasan korupsi kelas kakap.
Kata dia, Setnov bukan sekadar terpidana biasa, melainkan tokoh sentral dalam mega skandal e-KTP nan merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Dengan mengabulkan PK dan 'menyunat' vonis menjadi 12,5 tahun, MA disebut secara tidak langsung mengirim pesan bahwa pelaku korupsi besar pun dapat memperoleh keringanan hukuman, terlepas dari tingkat kejahatan dan dampaknya terhadap bangsa.
"Publik berkuasa mempertanyakan dasar pertimbangan majelis pengadil PK. Apakah betul ada novum (bukti baru) nan sah atau pertimbangan lebih banyak didasarkan pada aspek subjektif seperti contohnya kesehatan alias usia?" tandasnya.
MA mengabulkan PK Setnov dan mengurangi balasan nan berkepentingan dari semula 15 tahun menjadi 12,5 tahun penjara. Setnov juga dikenakan denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Selain itu, Setnov juga dihukum bayar duit pengganti sejumlah US$7.300.000 dikompensasi sebesar Rp5 miliar nan telah dititipkan oleh terpidana kepada Penyidik KPK dan nan telah disetorkan terpidana.
"Sisa UP (uang pengganti) Rp49.052.289.803,00 subsidair 2 tahun penjara."
Setnov juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan kewenangan untuk menduduki kedudukan publik selama 2 tahun dan 6 bulan terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pemidanaan.
Setnov dinilai terbukti melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Perkara nomor: 32 PK/Pid.Sus/2020 itu diperiksa dan diadili oleh ketua majelis Surya Jaya dengan pengadil personil Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono. Panitera Pengganti Wendy Pratama Putra. Putusan dibacakan pada Rabu, 4 Juni 2025.
MA memerlukan waktu 1.956 hari untuk memutus perkara tersebut (didaftarkan pada 6 Januari 2020).
Sebelumnya, Setnov nan merupakan politikus Partai Golkar dijatuhi balasan 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan oleh majelis pengadil Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dia juga dihukum bayar duit pengganti sebesar US$7,3 juta dikurangi Rp5 miliar nan telah diberikan terdakwa kepada interogator KPK dengan ketentuan subsider 2 tahun penjara.
Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa mencabut kewenangan untuk menduduki kedudukan publik selama 5 tahun terhitung sejak terpidana menjalani masa pemidanaan.
Pengacara Setnov, Maqdir Ismail, mengungkapkan novum dalam PK tersebut adalah keterangan dari pemasok Federal Bureau of Investigation (FBI) di pengadilan Amerika terhadap perkara nan melibatkan istri Johannes Marliem [Direktur Biomorf Lone LLC Amerika Serikat] dengan beberapa krediturnya nan menerangkan tidak ada duit nan dikirim oleh Marliem kepada Setnov.
Novum lainnya mengenai transaksi finansial nan melibatkan Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo dan mantan pemilik Toko Buku Gunung Agung, Made Oka Masagung.
(ryn/dal)
[Gambas:Video CNN]