Misbakhun Golkar Kritisi Djp Yang Dinilai Lamban Implementasikan Perintah Prabowo Soal Ppn

Sedang Trending 2 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

pendapatsaya.com, Jakarta Presiden Prabowo Subianto sudah membatalkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%, terhadap semua jenis kategori peralatan dan jasa. Di mana hanya berlaku untuk kategori peralatan mewah.

Namun, sejumlah masyarakat tetap mengeluhkan lantaran masih ada nan tetap dikenakan tagihan PPN 12% pada transaksi digital, meski tidak tergolong peralatan dan jasa mewah.

Terkait perihal ini, Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun mengkritisi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) nan dinilai lamban dalam membikin patokan pelaksanaannya sehingga membikin binggung dan terkesan tak segera mengimplementasikan kebijakan Prabowo tersebut.

"Perintah (Presiden Prabowo) nan sudah jelas tersebut tidak bisa diterjemahkan dengan jelas oleh para birokrat di Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sehingga patokan pelaksanaannya di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya lantaran menggunakan dasar pengenaan dengan nilai lain 11/12 di mana ada penafsiran tunggal seakan-akan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tidak bisa menerapkan PPN dengan multitarif," kata dia dalam keterangannya, Jumat (3/1/2024).

Menurut Politikus Golkar ini, Pasal 7 UU HPP tidak ada larangan soal multitarif PPN sehingga penerapan tarif PPN 11% dan PPN 12% bisa diterapkan berbarengan sekaligus. Tarif PPN 11% untuk nan tidak naik, sedangkan tarif PPN 12% hanya untuk peralatan dan jasa mewah.

"Namun, ketika PMK Nomor 131 Tahun 2024 Tentang Pemberlakukan PPN membikin dasar kalkulasi penerapan PPN 11% nan tidak naik membingungkan bumi upaya lantaran menggunakan istilah dasar pengenaan lain, maka ini menimbulkan pertanyaan soal loyalitas birokrat di Direktorat Jenderal Pajak, khususnya Dirjen Pajak dalam menterjemahkan perintah Bapak Presiden Prabowo nan sudah jelas," jelas dia.

Misbakhun juga menuturkan, persiapan dan pembuatan keputusan nan sangat mepet dengan penyelenggaraan perubahan tarif PPN tidak memberikan waktu kepada pengusaha untuk mempersiapkan perubahan di dalam sistemnya.

"Walaupun pada akhirnya PPN terutang dapat dihitung ulang menggunakan sistem pada SPT Masa PPN, tetapi PMK itu tetap membikin masyarakat kudu bayar lebih dari nan seharusnya," kata dia.

Diminta Buat Aturan Sederhana

Misbahkhun mengatakan, sudah semestinya Kementerian Keuangan RI dalam perihal ini Direktorat Jenderal Pajak membikin peraturan dengan bahasa nan lebih sederhana, tidak menimbulkan multitafsir, dan tetap menggunakan sistem penyusunan peraturan nan seharusnya.

"Apakah Kementerian Keuangan, terutama Direktorat Jenderal Pajak, telah menterjemahkan intruksi Presiden dengan tepat? Tidak semestinya Direktorat Jenderal Pajak membikin penafsiran ataupun membikin ketentuan nan berbeda dengan perintah presiden sehingga bisa berakibat timbulnya ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpin tertingginya," jelas dia.

"Kalau Dirjen Pajak tidak bisa melaksanakan perintah Bapak Presiden Prabowo sebaiknya memilih untuk menulis surat pengunduran diri lantaran apa nan dibuat soal patokan penyelenggaraan teknis ini sudah tidak seirama dengan kemauan dan kehendak Bapak Presiden Prabowo, lantaran punya tafsir subyektif soal pasal UU HPP nan sudah jelas nan berakibat menimbulkan penyelenggaraan nan menimbulkan kegaduhan di kalangan bumi usaha," tutupnya.

Penjelasan DJP

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa Wajib Pajak dapat mengusulkan pengembalian kelebihan pembayaran pajak andaikan sudah terlanjur melakukan pembayaran pajak dengan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12%.

Hal ini menanggapi keluhan sejumlah masyarakat nan tetap dikenakan tagihan PPN 12% pada transaksi digital, meski tidak tergolong peralatan dan jasa mewah.

Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo mengatakan bahwa pihaknya sedang menyiapkan skema untuk memproses pengembalian kelebihan pembayaran pajak PPN tersebut.

"Ini nan sedang kita atur transisinya. Kalau sudah kelebihan dipungut ya dikembalikan dengan caranya nan beragam. Dikembalikan kepada nan berkepentingan bisa, jika tidak membetulkan tagihan pajak kelak dilaporkan juga bisa," ungkap Suryo dalam Konferensi Pers di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Senada, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan, Yon Arsal juga menegaskan bahwa pihaknya memastikan kewenangan Wajib Pajak bakal dijamin sepenuhnya.

"Haknya wajib pajak tidak ada nan dikurangi. Jadi jika memang rupanya semestinya bayar 11% tetapi terlanjur dipungut 12% kita bakal kembalikan," ujar Yon.

"Mekanisme pengembaliannya sedang kita siapkan," bebernya.

Dia juga memperkirakan, hanya sedikit Wajib Pajak nan bayar pajak dengan tarif PPN 12%. Hal ini mengingat tarif tersebut hanya dikenakan pada peralatan kategori mewah dan sudah diumumkan lebih awal pada 31 Desember 2024 lalu.

"Karena ini sudah diumumkan, maka hanya beberapa (kategori) tertentu saja nan sudah terlanjur memungut tarif PPN 12%," imbuhnya.

Selengkapnya