ARTICLE AD BOX
Jakarta, pendapatsaya.com --
Pemerkosaan massal pada peristiwa kerusuhan saat gelombang tuntutan Reformasi 1998 nan meruntuhkan rezim Orde Baru (Orba) kembali menjadi perbincangan belakangan ini.
Hal ini bertalian dengan proyek penulisan ulang sejarah nan tengah digagas pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan di bawah kepemimpinan Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Polemik itu bermulai saat dalam suatu wawancara media, Fadli Zon mengatakan tidak ada bukti kekerasan ke perempuan, khususnya perkosaan massal selama peristiwa 1998.
Kemudian pada rapat dengan Komisi X DPR RI pada Rabu (2/7) lalu, Fadli kembali dikritik para wakil rakyat terutama nan berlatar belakang sejarah dan perempuan. Pada kesempatan itu, politikus Gerindra tersebut menyatakan mengakui terjadinya kekerasan seksual, kemudian menyempitkan mempersoalkan penggunaan diksi 'massal'.
Fadli mengaku tak mempunyai maksud lain di kembali ini, dia mengaku tak beriktikad mereduksi alias menghilangkan kebenaran sejarah dalam peristiwa itu.
Apa nan dinyatakan Fadli itu kemudian disanggah sejumlah personil Komisi X DPR dari Fraksi PDIP. Fraksi PDIP bahkan telah menyatakan sikap meminta proyek penulisan sejarah Indonesia itu disetop dulu.
"Kami dari Fraksi PDIP menyatakan, meminta proyek penulisan sejarah ini setop saja. Dihentikan, seperti itu. Itu sikap kami," kata personil Komisi X DPR dari Fraksi PDIP Bonnie Triyana dalam paparannya saat rapat.
Bonnie nan berlatar belakang sebagai seorang sejarawan mengaku cemas proyek penulisan ulang sejarah di bawah Fadli sebagai state denial on human right violation alias penyangkalan negara terhadap kekerasan kemanusiaan.
Menurut dia, ada tiga corak penyangkalan nan diduga tengah dilakukan negara lewat proyek penulisan ulang sejarah. Pertama, literaly denial alias corak pengingkaran langsung terhadap kasus pelanggaran HAM.
Kedua, interpretative denial alias corak pengingkaran, namun menafsirkan ulang dan mereduksi akibat terhadap korban. Ketiga, implicatory denial alias menerima peristiwa kasus pelanggaran HAM, namun tak melakukan apapun alias tidak bertanggungjawab.
"Jadi negara tidak mau bertanggung jawab. Nah saya cemas nan terjadi belakangan ini termasuk interpretative denial. Jadi Pak Menteri mengakui, tapi ada semacam tafsiran terhadap makna 'massal' nan kemudian menggeser perdebatan kita menjadi perdebatan semantik," kata Bonnie.
"Bukan kepada substansi persoalan itu sendiri. Karena itu [kasus kekerasan seksual massal] terjadi," imbuhnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut setidaknya ada dua argumen kenapa elite di masa sekarang nan terkesan enggan mengakui sejarah perkosaan massal pada peristiwa 1998.
Pertama, Usman beranggapan ada kekhawatiran dari pemerintah jika perkosaan massal dan tragedi kerusuhan 1998 didesak untuk dibongkar tuntas berpotensi menyeret orang-orang di pemerintahan hari ini nan terimplikasi kasus Mei 1998.
"Ada kekhawatiran jika pemerkosaan massal dan Tragedi kerusuhan Mei 1998 terus didesak publik untuk dibongkar justru menyeret orang-orang pemerintahan saat ini nan terimplikasi kasus Mei 1998," kata Usman kepada CNNIndonesia.com, Kamis (3/7).
Lalu kedua, Usman menyebut tetap melekatnya rasialisme nan sistemik di kalangan elite terhadap etnis Tionghoa.
"Tidak jarang para elite menggunakan retorika anti-asing dan anti-aseng untuk menyalahkan mereka sekaligus menutupi kegagalan negara dalam mewujudkan keadilan sosial," ucap eks Koordinator BP KontraS tersebut.
Usman mengatakan retorika ini juga kerap dipakai untuk meraih support dari kalangan nan percaya dengan labelisasi negatif terhadap etnis Tionghoa.
Baik itu mereka nan percaya dengan stigma ekonomi bahwa etnis Tionghoa menguasai ekonomi nasional maupun stigma politis seperti tuduhan komunis.
"Inilah warisan Orba nan belum bisa dihapuskan sepenuhnya," ucapnya.
Luka terhadap memori korban dan masyarakat
Sementara itu, aktivis HAM sekaligus founder Lokataru Foundation, Haris Azhar menyatakan miris memandang apa nan dilakukan Fadli belakangan ini.
Ia menyebut ingatan korban dan masyarakat luas sudah berjalan dengan sangat lama.
"Memory korban, keluarga, dan masyarakat luas sudah mencatat dan mengingat. Ingatan tersebut sudah menjadi 'maqam' (penanda). Luka dan duka ini sudah berjalan lama nyaris 3 dekade," kata Haris.
Ia menyatakan ingatan itu juga terjadi tidak tanpa sebab, melainkan ingatan tersebut lantaran memang peristiwa pada saat itu menjadi memori nan sangatlah buruk.
Haris pun mempertanyakan kenapa pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto baru `sibuk` mengoreksi sejarah ataupun diksi nan sudah melekat sebagai ingatan publik.
"Saya memandang miris dan kocak apa nan dilakukan Fadli Zon, buat apa Pemerintah 'baru' sibuk mengoreksi sejarah alias kata nan kadung sudah menjadi ingatan publik," ujar dia.
Baca laman selanjutnya