ARTICLE AD BOX
Pengusaha money changer yang juga dikenal sebagai "crazy rich," Helena Lim, divonis lima tahun penjara oleh pengadilan, serta didenda sebesar Rp 750 juta dan diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp 900 juta. Kasus korupsi pengelolaan timah yang menyeret Helena ini menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun. Vonis tersebut dijatuhkan lebih rendah daripada tuntutan jaksa yang meminta hukuman delapan tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar.
Sidang vonis yang berlangsung pada hari itu diwarnai suasana haru. Ibunda Helena, Hoa Lian, menangis histeris dan memeluk anaknya setelah putusan dibacakan. "Pulang sini, sayang. Pulang, anakku. Ya ampun," ujar ibunda Helena sambil terisak. Tak lama kemudian, ia pingsan setelah Helena dibawa kembali ke tahanan. Helena sendiri terlihat menangis dalam pelukan sang ibu sebelum dibawa petugas.
Dalam kasus ini, Helena didakwa memanfaatkan perusahaannya, PT Quantum Skyline Exchange (PT QSE), untuk menampung uang hasil korupsi dari pengusaha Harvey Moeis. Jaksa mengungkapkan bahwa PT QSE milik Helena digunakan untuk mencatat dana sebesar USD 30 juta atau setara Rp 420 miliar sebagai penukaran valuta asing, meskipun dana tersebut sebenarnya berasal dari praktik korupsi yang disamarkan sebagai dana Corporate Social Responsibility (CSR).
Jaksa juga menyebutkan bahwa Helena mendapatkan keuntungan sebesar Rp 900 juta dari transaksi valuta asing tersebut. Uang yang diterima Harvey Moeis melalui Helena dicairkan dalam beberapa kali transfer selama periode 2018 hingga 2023. "Hal ini telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun, sesuai dengan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara," jelas jaksa.
Selain itu, Helena didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Jaksa menegaskan bahwa Helena terlibat dalam upaya menyamarkan transaksi keuangan dengan mencatat uang hasil korupsi tersebut sebagai kegiatan legal. Meskipun Helena telah divonis, baik pihak jaksa maupun terdakwa masih mempertimbangkan untuk mengajukan banding.
Kasus ini menjadi sorotan publik, mengingat skala kerugian negara yang sangat besar serta keterlibatan tokoh-tokoh terkenal. Pakar hukum pidana, Prof. Arif Budiman, menilai bahwa vonis ini menunjukkan pentingnya memperkuat pengawasan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. "Korupsi dalam sektor strategis seperti timah menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dan memberikan dampak besar bagi ekonomi negara," ujarnya.