ARTICLE AD BOX
Mahkamah Agung (MA) merespons kemarahan publik terhadap vonis ringan yang diberikan kepada terdakwa kasus korupsi di sektor timah, termasuk Harvey Moeis, yang diduga merugikan negara hingga Rp300,003 triliun. Menanggapi hal ini, Juru Bicara MA Yanto menyatakan bahwa upaya hukum banding menjadi jalur yang dapat ditempuh bagi pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan putusan hakim.
"Lembaga menghormati upaya hukum yang dilakukan oleh Jaksa Agung," ujar Yanto melalui sambungan telepon pada Selasa (31/12). "Memang seperti itu, kalau para pihak tidak puas, ya wadahnya upaya hukum," tambahnya.
Yanto menjelaskan bahwa baik sebagai hakim maupun lembaga, MA tidak diperkenankan memberikan komentar terkait putusan pengadilan. "MA itu terikat untuk tidak bisa mengomentari putusan yang sedang berjalan. Bahkan, putusan yang sudah inkrah pun enggak boleh," tegasnya.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjatuhkan vonis terhadap belasan terdakwa kasus korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022. Kasus ini juga melibatkan dakwaan terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Meski kerugian negara sebesar Rp300,003 triliun dinilai terbukti, hukuman yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis dan rekan-rekannya lebih rendah dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Keputusan ini memantik reaksi keras dari masyarakat. Banyak pihak menilai bahwa hukuman tersebut terlalu ringan untuk kasus korupsi yang merugikan negara dalam jumlah sangat besar. Bahkan, Presiden RI Prabowo Subianto turut mengkritik putusan tersebut. Ia menilai bahwa vonis yang ringan terhadap pelaku korupsi dengan dampak signifikan seperti itu berpotensi melukai rasa keadilan masyarakat.
"Sudah jelas kerugian sekian ratus triliun, vonisnya seperti itu. Ini bisa menyakiti rasa keadilan," ujar Prabowo dalam pidatonya pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) RPJMN 2025-2029 di Jakarta, Senin (30/12).
Kasus ini menjadi perhatian luas publik, memperkuat sorotan terhadap perlunya pembaruan sistem peradilan dalam menangani kasus-kasus korupsi besar. Para ahli hukum menyarankan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pemberian vonis agar sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Salah satu pengamat hukum, Dr. Andi Nugraha, menyatakan, "Vonis ringan dalam kasus seperti ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan memicu ketidakpuasan sosial."