ARTICLE AD BOX
Jakarta, pendapatsaya.com --
Sejumlah koalisi masyarakat sipil mulai dari mahasiswa, pesohor, hingga ojek online (ojol) tetap terus melakukan unjuk rasa pasca gelombang demonstrasi besar-besaran 25-31 Agustus nan menewaskan 10 korban jiwa di beberapa daerah.
Aksi dilakukan untuk mendesak pemerintah dan DPR segera memenuhi tuntutan 17+8 nan koalisi rumuskan sebelumnya. Masyarakat menilai pemerintah tetap separuh hati mengabulkan sejumlah tuntutan nan dianggap krusial.
"Masih banyak, kami rasa nol besar dalam perihal penuntasan," kata perwakilan mahasiswa UI, Diallo Hujanbiru saat demo di depan kompleks parlemen, Selasa (9/9) pekan lalu.
Mahasiswa antara lain kecewa lantaran pemerintah dan DPR tak kunjung membentuk tim investigasi dugaan makar dan kekerasan abdi negara dalam gelombang tindakan unjuk rasa 25-31 Agustus di beberapa daerah. Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menyinggung ada dugaan makar dalam demo tersebut.
Sementara, beberapa tuntutan lain nan belum tersentuh antara lain reformasi lembaga kepolisian dan dorongan agar TNI kembali ke barak.
Teranyar, koalisi ojol menakut-nakuti bakal menggelar demo besar-besaran berbareng mahasiswa di DPR pada Rabu (17/9). Mereka mengingatkan pemerintah soal potensi gelombang pemberontak seperti unjuk rasa di Nepal jika tuntutan tak didengar.
Prabowo sebelumnya mengakui sebagian tuntutan demo masuk akal. Sementara, sisanya, dia menyebut tetap perlu untuk dirundingkan dan diperdebatkan.
"Ya saya kira kita pelajari sebagian masuk akal, sebagian kita bisa berunding, kita bisa berdebat," kata Prabowo di kediamannya, Hambalang, Jawa Barat, Sabtu (6/9).
Demonstrasi butuh konsistensi
Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah 'Castro' meyakini aktivitas masyarakat memerlukan konsistensi. Ibarat meruntuhkan tembok, dia bilang, aktivitas masyarakat tak bisa dilakukan hanya sekali dua kali.
Begitu pula dengan tuntutan, nan tak bisa hanya sekali disampaikan, melainkan kudu acapkali secara konsisten. Menurut Castro, koalisi masyarakat sipil perlu memikirkan dengan matang untuk mempertahankan nafas mereka dalam mengawal tuntutan.
"Sama seperti kita merubuhkan tembok kan tidak mungkin sekali pukul, kudu berkali-kali. Begitu pula dengan tuntutan, enggak bisa sekali selesai. Jadi butuh konsistensi," kata Castro saat dihubungi, Senin (15/9).
Oleh karenanya, kata dia, masyarakat tak bisa langsung berpangku tangan pada DPR alias pemerintah hanya dengan sekali tuntutan, alias apalagi mewakili kepentingan kepada DPR. Sebab, justru nan membikin aktivitas masyarakat terbangun belakangan adalah corak ketidakpercayaan masyarakat terhadap DPR dan pemerintah.
Sehingga, lanjut Castro, asing jika masyarakat percaya dan memasrahkan tindak lanjut pemenuhan tuntutan publik kepada mereka.
"Jadi catatan krusial sebenarnya untuk menjaga konsistensi, aksi-aksi terus dilakukan, agar nafas kita panjang dalam mengawal tuntutan itu. Enggak bisa serta merta tuntutan itu diberikan dan dipercaya begitu saja kepada pemerintah," kata dia.
Waspada upaya delegitimasi aksi
Kedua, Castro mewanti-wanti agar koalisi sipil mewaspadai upaya mendelegitimasi alias merusak kepercayaan terhadap gerakan. Terlebih, belakangan abdi negara mulai menargetkan beberapa orang sebagai tersangka.
Menurut Castro, upaya itu memang sengaja dilakukan pemerintah untuk menginterupsi aktivitas sipil agar berhenti.
"Saya kira itu jelas bakal dilakukan. Entah itu untuk memecah gerakan, membikin aktivitas menjadi mundur, seolah-olah mau menakut-nakuti dalam tanda petik. Jadi, mestinya aktivitas massa tindakan tidak boleh gentar," kata Castro.
Pemerintah-DPR abai, RI bisa jadi Nepal
Dosen Fakultas Politik UIN Jakarta, Ali Rif'an memuji respons DPR dan pemerintah mengabulkan sejumlah tuntutan koalisi sipil. Namun dia mengingatkan tetap banyak tuntutan lain nan belum dipenuhi.
Oleh lantaran itu, Ali menilai masyarakat kudu terus mengawasi tenggat waktu nan telah diberikan kepada pemerintah dan DPR.
Ali mengaku khawatir, jika tuntutan itu terus menerus diabaikan, situasinya bakal semakin serius, apalagi bukan tidak mungkin bakal seperti di Nepal.
"Jadi apa nan menjadi tuntutan masyarakat kudu segera dipenuhi. Karena kita cemas Indonesia kelak seperti Nepal, ketika pemerintah abai terhadap kritik, masukan, dan saran," kata Ali saat dihubungi, Senin.
Menurut Ali, gelombang demo 25-31 Agustus kudu menjadi momentum perbaikan tradisi politik di Indonesia. Namun, dia menilai, masyarakat kudu tetap berupaya untuk menjaga momentum pemenuhan tuntutan.
"Karena saya sepakat ketika momentum hilang, isunya udah adem, itu relatif tuntutan itu diabaikan, sehingga tetap masyarakat tetap kudu mengawasi dan mungkin ultimatum juga perlu jika misalnya segera dipenuhi jika tidak dipenuhi bakal ada tindakan lagi," katanya.
(thr/dal)
[Gambas:Video CNN]